Awicaks
Membaca berita koran, yang terkemuka sekali pun, bagi saya seperti kebiasaan (habit) menyiksa diri. Tidak sedikit yang sudah mencapai taraf ketagihan (addicted). Tidak bertemu koran di pagi hari langsung meracau seperti halnya orang yang sakhau pskotropika. Seperti halnya pecandu, seitap orang punya urut-urutan upacaranya sendiri saat membaca koran, entah itu pagi hari atau waktu-waktu lainnya.
Saya sendiri lebih suka membaca Kompas saat menunaikan pemenuhan hajat rutin di pagi hari. Maka, membaca, mencerna, mengerenyitkan dahi sambil mengejan untuk membuang ampas metabolisme tubuh pun menjadi satu kesatuan dinamika kerja yang sudah diperlakukan sebagai jam biologis oleh tubuh dan mental saya.
Tidak hanya koran. Majalah berita mingguan Tempo pun menjadi bagian ritual di kamar mandi pagi hari sebelum saya memulai kegiatan-kegiatan harian. Tulisan-tulisan di blog ini harus diakui banyak memperoleh asupan inspirasi, renungan dan kegelisahan yang saya peroleh saat menunaikan ritual pagi hari tersebut.
Sumpah serapah tidak perlu diucapkan. Ia dapat dengan sempurna dikemukakan lewat mekanisme kerja tubuh lain. Mengejan adalah salah satunya. Kemarahan membaca perilaku dan sikap politikus dan pejabat negara yang menghina akal sehat saya sebagai warga merupakan bagian dari proses alami menjaga kesehatan lambung. Sikap defensif Presiden SBY ketika menanggapi protes kelas menengah tentang Peraturan Pemerintah (PP) No 2 Tahun 2008 dengan mengemukakan argumen-argumen yang sungguh absen nurani, membuat lambung saya semakin sehat. Saya mengejan sepenuh hati.
Jujur saja, tokoh yang paling sulit diduga oleh lambung saya justru Wakil Presiden, JK. Kadang ia bisa membuat saya mengejan sepenuh hati. Kadang justru membuat saya kehilangan selera untuk menuntaskan ritual pagi hari itu. Biasanya menyangkut pernyataan-pernyataannya yang serba abu-abu tetapi penuh penyederhanaan.
"Tidak ada satu rupiah pun yang dimakan Jakarta dari kekayaan alam Papua. Belanja Negara untuk Papua nilainya paling besar. Kekayaan alam Papua sudah dikembalikan kepada warga Papua oleh Negara," pernyataan JK saya ringkas dari berita beberapa koran terkemuka, yang memperlancar ritual pagi hari saya.
Apakah pernyataan tersebut sebuah penyesatan atau dusta publik, karena JK mengenyampingkan rangkaian fakta berupa rekor tindak kekerasan alat-alat Negara terhadap warga Papua, konflik sosial yang terjadi sebagai dampak penerapan kebijakan publik dalam bidang transmigrasi, pertambangan, perhutanan dan pertanian? Juga pelanggaran hak-hak dasar warga Papua akibat pembiaran oleh pengurus Negara, terutama dalam hal pangan, kesehatan dan pendidikan?
Namun sikapnya untuk menolak bertemu wakil-wakil badan keuangan multilateral serta badan-badan donor bilateral saat membuka Papua Development Partners (PDP) Meeting di Jayapura, 16 Februari 2008, malah membuat saya tersenyum dan gagal mengejan.
Pernyataan, "Saya hanya mau bertemu dengan para birokrat pengurus daerah dan politikus daerah," telah membuat kecele wakil-wakil lembaga internasional yang telah menempuh perjalanan tujuh jam penerbangan melalui udara dengan kondisi cuaca buruk dari Jakarta menuju Jayapura. Namun keinginan mengejan pun muncul kembali ketika membaca kegiatan lain JK selama di Jayapura, melakukan konsolidasi Partai Golkar dan konsolidasi dengan Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS), karena JK terbang ke Jayapura atas biaya Negara.
Berita-berita seputar tindak-tanduk dan perilaku tolol para anggota parlemen adalah yang sangat disukai lambung saya. Membaca berita-berita tersebut seperti halnya minum obat pencahar. Semua keluar tanpa perlu mengerahkan daya besar saat mengejan. Bahkan saya bisa melakukannya sambil tersenyum atau bersiul-siul.
24 Februari 2008
1 comment:
seandainya yang dcakapkan di artikel ini bukan hal menyedihkan, saya sudah terkekeh2 sekarang..
gaya bahasa yang kocak..
Post a Comment