Awicaks
Berikut adalah pernyataan 'atas nama' yang begitu kerap diucapkan para pejabat Negara, dari tingkat yang paling kere hingga yang paling memesona nun di pucuk sana. Pernyataan 'atas nama' yang kerap menghiasai halaman-halaman koran.
- Atas nama pemberantasan kemiskinan.
- Atas nama kesejahteraan rakyat.
- Atas nama kemajuan bangsa.
- Atas nama pertumbuhan ekonomi.
- Atas nama peningkatan pendapatan Negara.
- Atas nama kedigjayaan bangsa.
- Atas nama...
Tiba-tiba saya merasakan rindu luar biasa pada kata 'keselamatan.' Bukan sebagai kata keadaan, tetai sebagai kata kerja. Sehingga, meskipun ia hanyalah sebuah ungkapan 'atas nama' seperti diutarakan sebelumnya, tergambar sikap ksatria dan tanggung jawab dari orang-orang yang diberi kepercayaan mengurus Negara amburadul ini. Harus saya akui, perasaan miris sudah menjadi rasa yang wajib dimiliki setiap membaca kabar tentang lenyapnya keselamatan warga, meski ia cuma satu atau dua nyawa karena ketidakpedulian para pengurus Negara yang lebih senang disebut sebagai Pemerintah (baca: Tukang beri perintah).
Maka terbayang di benak, rombongan warga yang lenyap keselamatannya gara-gara semburan lumpur panas beracun Banjar Panji I, yang dioperasikan Lapindo Brantas. Lalu terbayang pula di benak, para buruh tani di perkebunan-perkebunan kelapa sawit di beberapa daerah di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan yang menjadi plasma dari sebuah sistem tanam paksa yang dimutakhirkan. Belum lagi bayangan tentang jutaan warga berbagai kampung yang disebut Wakil Presiden JK sebagai warga yang naik kelas, karena berhasil masuk ke arena industri, dengan melepas profesi tradisional mereka sebagai petani (dan saat yang sama melepas hak kuasa atas lahan dan tanah mereka) lalu menjadi bagian dari struktur raksasa bernama pabrik dengan peran sebagai buruh.
Lebih miris lagi ketika keselamatan kemudian dipertukarkan dengan nilai moneter, dengan operasi kali-kalian sederhana yang menghina akal sehat, pada proses penetapan ganti rugi bagi warga yang senantiasa diperintahkan untuk bersabar dan tawakal atas nama percepatan pembangunan. Menjadi warga negeri ini agaknya harus siap menjadi sasaran bidikan yang bersifat random dari berbagai kebijakan Negara. Bahkan warga pun harus bersabar atas nama 'keamanan APBN' ketika pengurus Negara mulai bermain-main dengan angka-angka asumtif, yang tidak pernah secara serius disadari bahwa ia punya tali sebab-akibat dengan kenaikan derajat derita warga.
Semestinya UNDP tidak bersibuk menerbitkan Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI), mentang-mentang lembaga PBB itu memiliki unsur kata pembangunan (development). Memahami betapa tidak seriusnya pengurus negeri ini menjamin keselamatan warganya, seharusnya UNDP melakukan kajian atas status dan derajat keselamatan warga negeri untuk menakar keberhasilan kebijakan dan program yang dilaksanakan pengurus Negara. Sehingga terbitan itu lebih baik disebut Indeks Keselamatan Manusia. Agar lebih keren dibuat pula penamaan dalam bahasa Inggeris, Human Safety Index (HSI). Dan UNDP tidak harus mengubah namanya menjadi UNSP atau UN Safety Programme. Seperti apa kira-kira HSI itu?
Sesungguhnya beberapa angka dan indeks komposit yang disajikan HDI bisa dibaca dari perspektif keselamatan. Mutu gizi anak-anak usia bawah lima tahun (balita) merupakan gambaran keselamatan generasi masa depan. Tingkat kematian ibu melahirkan jelas sekali menggambarkan mutu Negara menjamin hak reproduksi warga. Saat yang sama tingkat kematian ibu melahirkan menggambarkan pula jaminan Negara atas kualitas hidup warga yang membutuhkan asupan gizi yang baik atas nama generasi masa depan yang berkualitas.
Semestinya para ahli ekonomi yang berada di belakang operasi kali-kalian penaikan harga BBM bersibuk merumuskan model-model yang mampu menggambarkan, berapa balita kurang gizi akan bertambah pada setiap kenaikan satu rupiah harga BBM? Juga, berapa jumlah ibu melahirkan meninggal pada setiap kenaikan satu rupiah harga gabah? Dan seterusnya. Gambaran klasik yang selalu diindoktrinasi ke kepala warga adalah, kenaikan harga BBM akan mendorong kenaikan harga beberapa kebutuhan bahan pokok. Stop sampai di situ. Tidak ada kajian lebih lanjut, bagaimana dampak dan daya rusak kenaikan harga kebutuhan bahan pokok terhadap keselamatan warga.
Saya jadi berpikir, jangan-jangan 'keselamatan' dibaca sebagai kata berimbuhan 'ke-' dan berakhiran '-an' belaka, serta tidak dibaca sebagai keadaan terjamin, tetapi lebih sebagai ucapan tertentu, seperti "Selamat Idul Fitri" atau "Selamat Tahun Baru." Jika demikian, saya hanya bisa bilang, "Selamat berjuang...."
7 Maret 2008
No comments:
Post a Comment