Awicaks
Hakekat perusahaan (corporation) adalah menghidupkan dinamika ekonomik lewat kegiatan produksinya yang mampu menangguk laba agar perusahaan dapat bertahan hidup (survival) atau tumbuh dan meluas. DNA sebuah perusahaan adalah mencari laba. Memaksimalkan perolehan laba dalam konteks bersaing dengan perusahaan lain yang memiliki produk serupa merupakan keniscayaan bagi sebuah perusahaan. Maka ketika perusahaan tampil di depan publik dengan citra tanggung jawab sosial dan lingkungan, itu patut dipertanyakan. Bahkan Milton Friedman menyebutnya amoral!
Tentu saja kecaman Friedman, dan juga Noam Chomsky, bukan suatu pernyataan tunggal. Ada prasyarat yang mesti dipenuhi, yakni peran Negara yang optimal dalam menjamin keselamatan warga, produktifitas warga dalam memenuhi dan mempertahankan kualitas hidup terbaik mereka, serta kemampuan warga merawat dan menjaga fungsi-fungsi alam. Sehingga kewajiban Negara dalam menjamin akses warga kepada pelayanan kesehatan, pendidikan, sumber-sumber pangan dan air bersih yang terjangkau serta energi untuk keperluan kelangsungan hidup menjadi syarat mutlak agar peran perusahaan sebagai dinamisator ekonomi pun berlangsung optimal. Hal tersebut yang tak terjadi di negeri ini.
Pengurus Negara di Indonesia sibuk mengurusi dirinya sendiri. Menyeimbangkan anggaran demi menjaga citra kepengurusan dengan tampilan kinerja ekonomi-makro di hadapan lembaga-lembaga keuangan multilateral dengan mengorbankan keselamatan warga, seperti yang tampak jelas pada pencabutan subsidi BBM, harga gabah di tingkat petani dan sebagainya. Kewajiban Negara menyediakan pelayanan kesehatan dan pendidikan pun hampir bulat-bulat diserahkan kepada pasar, dengan maraknya swastanisasi klinik dan rumah sakit serta persekolahan yang tak bisa menghindari kalkulasi untung rugi menjadi utama dibandingkan aspek pelayanan warga. Jaminan Negara yang mestinya dibiayai dari perpajakan bisa dikatakan tak jalan di Indonesia karena berbagai faktor, dengan korupsi sebagai induk penting faktor penyebabnya. Akibatnya sosok perusahaan merambah hingga ke sektor pelayanan publik yang seharusnya menjadi kewajiban Negara.
"Perusahaan dibentuk untuk menangguk laba, bukan untuk tujuan sosial atau tujuan lainnya," kata Noam Chomsky. "Itu tanggung jawab Negara!" Logikanya, Negara mampu menegakkan mekanisme perpajakan dari dinamika ekonomi yang digerakkan perusahaan-perusahaan. Warga sebagai obyek hukum dan pajak serta pada saat yang sama adalah konsumen dari barang dan jasa industrial yang diproduksi perusahaan harus dijamin keselamatan, kesejahteraan dan produktifitasnya oleh Negara demi terjaganya keseimbangan sosial-politik-ekonomik. Tetapi pendapat normatif Eyang Chomsky dan Eyang Friedman jauh panggang dari api di negeri kepulauan yang amburadul ini.
Kemudahan pajak, penghapusan birokrasi pada penanaman modal (investasi), kemudahan memperoleh lahan serta ketersediaan buruh murah dalam jumlah yang besar menjadi paket kebijakan Negara yang membuat Indonesia menjadi surga bagi investor tetapi sekaligus neraka bagi warganya sendiri. Pada konteks Indonesia, perusahaan yang pada hakekatnya memaksimalkan perolehan laba dengan memperbesar ambang laba (profit margin) dengan meminimalkan eksternalitas dan liabilitasnya telah menjadikan kehidupan sosial dan lingkungan hidup sebagai tempat sampah mereka. Tempat sampah bagi eksternalitas, liabilitas serta resiko-resiko bisnis mereka. Dan hal itu sangat memungkinkan di Indonesia karena adanya kebijakan-kebijakan Negara yang memanjakan perusahaan-perusahaan.
Sehingga, ketika sebuah konsep tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) didorong menjadi suatu tolok-ukur kinerja perusahaan, timbul pertanyaan sederhana, "Memang ada masalah apa kok perusahaan harus menampilkan sosok tanggung jawab mereka dalam hal sosial dan lingkungan?" Chomsky berpendapat, karena perusahaan tidak ingin menanggung beban baru, yakni keresahan dan konflik sosial dan politik, karena kenyataannya kualitas sosial dan lingkungan hidup terus merosot sementara perolehan laba perusahaan terus meroket. CSR adalah tabir asap (smoke-screen) liabilitas dan eksternalitas perusahaan yang selama ini disembunyikan di bawah karpet.
Jika perusahaan berproduksi dan saling bersaing secara sehat serta melaksanakan kewajiban pajak mereka, dan saat yang sama Negara menjamin keselamatan dan kesejahteraan warga, produktifitas warga untuk memenuhi dan mempertahankan kualitas hidup terbaik mereka, serta kemampuan warga merawat fungsi-fungsi alam, CSR sama sekali tidak dibutuhkan. CSR adalah penanda simbolik ketidakberesan bisnis sebuah perusahaan dan saat yang sama merupakan penanda bobroknya pengurusan Negara. Semakin mengkilat tampilan CSR sebuah perusahaan, mestinya kita semakin curiga, seberapa besar masalah yang disembunyikan di bawah karpet?
Saturday, April 26, 2008
Corporate Social Responsibility? "Amoral!" Kata Friedman
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment