Awicaks
Benarkah terjadi krisis pangan? Krisis pangan atau "krisis pangan"? Atau krisis konsumsi pangan?
Saya tak akan pernah lelah mengusung thesis lama, bahwa pengurus Negara tutup mata terhadap keselamatan warga. Warga harus bekerja sendiri menyelesaikan masalahnya tanpa bisa berharap uluran tangan pengurus Negara.
Krisis pangan hanya salah satu dari daftar panjang krisis dan bencana (catastrophes) yang mengancam dan menghantui kehidupan warga negeri kepulauan ini. Modus hidup warga Indonesia adalah bertahan hidup (survival). Tentu thesis ini tak berlaku bagi warga yang berkelebihan, yang lebih pusing memilih sepatu mana yang cocok dipakai saat mengenakan salah satu koleksi pakaian di lemari. Tololnya, yang disebut krisis di Indonesia adalah menyempitnya akses warga untuk memperoleh, mendapatkan dan memanfaatkan kebutuhan-kebutuhan dasar yang seharusnya dijamin Negara.
Kebijakan dadakan alias crash programme alias tambal sulam sudah jadi ciri pengurus negeri ini, selepas lengsernya alm. Eyang Kakung Suharto. Kebijakan-kebijakan Negara yang bersifat reaktif seringkali tak memperhitungkan dampaknya terhadap kehidupan warga. Atas nama menyeimbangkan anggaran Negara warga diminta berbesar hati merasakan dampak demi tujuan yang lebih besar. Terhadap apa yang sekarang ramai disebut krisis pangan pun sama. Toh terbukti tak satu rejim pengurus Negara mana pun di dunia ini yang mampu mengendalikan liarnya gerak pasar. Ancaman hukuman terhadap para penimbun bahan pokok, sebagai contoh, tak pernah berhasil menciptakan efek jera. Semakin pengurus Negara mencoba mengatur dan mengendalikan pasar, semakin kasatmata ketololan mereka.
Siapa pihak yang paling menderita dari cerita ini semua? Yang paling jelas adalah anak-anak dan kelompok perempuan. Mutu gizi anak-anak di negeri ini adalah data yang paling sering dimanipulasi demi menjaga citra positif kinerja ekonomi-makro Indonesia. Meski angka-angka balita kurang gizi pada Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index, HDI) dari UNDP sudah cukup horror, tetapi saya yakin data itu masih indikatif sifatnya dan terlalu konservatif. Ada banyak realita yang gagal ditangkap metoda-metoda canggih pengumpulan data HDI. Ambil contoh rangkaian proses dari keputusan rumah tangga mengorbankan biaya pendidikan anak atas nama pemenuhan konsumsi, yang berangkai dengan keputusan melibatkan sang anak dalam kegiatan-kegiatan produksi, baik sebagai buruh langsung maupun buruh tak langsung.
Mutu keselamatan dan kesehatan reproduksi perempuan juga adalah data yang paling sering disembunyikan di bawah karpet. Alih-alih menggambarkan angka laju kematian ibu melahirkan, yang justru disajikan adalah keberhasilan pengurus Negara menekan angka kelahiran. Bisajadi keduanya tak berhubungan langsung, tetapi akal sehat saya melihat keterkaitan yang tak terelakkan.
Apa yang akan kita hadapi di masa depan dengan situasi seperti ini? Yang jelas, kita akan memiliki generasi masa depan yang masa kecilnya hidup dengan rendahnya mutu gizi, pendidikan, dan kesehatan. Jangan-jangan negeri ini memang diarahkan untuk menjadi wilayah penyedia buruh murah (sweatshops' labour market)?
Wednesday, April 30, 2008
Siapa Korban Paling Rentan?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment