Awicaks
Megawati pernah duduk di bangku pesakitan sebagai "yang tertindas" di penghujung rejim alm EK Suharto. Simpati mengalir. Dukungan membludak. Megawati dijadikan simbol bagi dan saluran aspirasi warga kritis tertindas yang sudah muak dengan Orde Baru. Dan Megawati melakukannya dengan senyum, tanpa orasi berapi-api seperti yang dulu dilakukan bapaknya. Menumpang kendaraan politik "orang tertindas"
Megawati melesat menjadi simbol perlawanan ketika Partai Demokrasi Indonesia (PDI) diaduk-aduk, dan memilih mendirikan PDI-Perjuangan. PDI-P di bawah kepemimpinannya, yang berangkat dari status "kelompok orang tertindas", menjadi partai besar, yang ketika berada di pucuk pimpinan kepengurusan Negara menjadi partai yang tutup mata terhadap praktik-praktik penindasan aparat Negara terhadap warga biasa.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga pernah duduk di bangku pesakitan, "yang tertindas", ketika berselisih dengan Taufik Kiemas, suami Megawati sekaligus Bapak Negara dari Presiden Republik Indonesia kelima, ketika SBY menjabat sebagai Menteri Koordinator Sosial, Politik dan Keamanan (Menko Sospolkam). Dengan derajat ketertindasan berbeda SBY pun melesat meraih simpati.
Meskipun banyak pihak melihat ketertindasan SBY sebagai hasil reka dan yasa imaji serta citra publik toh ia mampu meraih kemenangan politik kuasa. Berbeda dengan Megawati, di bawah kepemimpinan SBY negeri ini dipertontonkan sebuah sandiwara citra dan imaji pop tentang kemegahan, tetapi gagal membangun tembok menutup potret nyata di sekeliling panggung yang gamblang menyajikan kemiskinan, penindasan, kemarahan publik, kemerosotan mutu mental aparat Negara, plus bonus bencana-bencana alam.
Menjelang Pemilu 2009 bersiap-siaplah Anda menyiapkan dukungan bagi elit-elit politik kuasa dan elit-elit kuasa modal yang saat ini tengah menyiapkan siasat menjadi "para tertindas." Mengapa simpati dan dukungan publik relatif begitu mudah diperoleh ketika muncul "sang tertindas" ke arena persaingan politik? Tak ada jawaban tunggal.
Bolehjadi ia berlatar pada manifestasi diri orang per orang yang berada di bawah naungan judul besar, "publik". Bolehjadi juga ia berasal dari rasa setia kawan (altruism) kolektif yang meski tidak khas Indonesia tetapi mudah ditemui di kehidupan sehari-hari. Tentu saja altruism orang-orang yang dalam kehidupannya terbiasa berada di bawah atmosfer ketertindasan.
Maka membantu dan mendorong mereka yang "sama-sama tertindas" untuk maju merebut kuasa mungkin menjadi wujud harapan terbesar (bahkan bolehjadi harapan terakir) untuk lepas dari ketertindasan. Jangan lupa, dongengan sepanjang masa anak-anak Indonesia adalah tentang bangkitnya bangsa dari penindasan penjajah Belanda dan Jepang, yang sangat mungkin menjadi benih bagi altruism sesama tertindas.
Namun tajuk "ketertindasan" begitu mudah diletakkan di pintu depan ketika "sang tertindas" meraih kuasa. "Ketertindasan" sulit untuk diletakkan di ruang-ruang Istana yang megah, mengikllat dan sejuk. Bisa merusak harmoni dan cita rasa estetika.
Namun tak sulit bagi para alumni ketertindasan yang duduk di kuasa Negara untuk tetap merawat tali emosi dengan mereka yang sungguh-sungguh tertindas. Cukup dengan pertunjukan penuh lelehan airmata untuk menyatakan simpati. Cukup dengan reka dan yasa imaji serta citra diri lewat pertunjukan realitas kehidupan sehari-hari. Bahkan di masa lalu Megawati sering kecolongan lawan politiknya karena ia sering lamban menunjukkan sikap simpatinya kepada para tertindas.
Lingkaran setan ketertindasan dalam ruang sosial politik Indonesia begitu kental, tidak dalam konteks bagaimana ia dapat dilenyapkan, tetapi justru bagaimana ia secara terus-menerus direka dan diyasa untuk tetap dijadikan bobot dalam ajang-ajang persaingan politik. Sehingga ketertindasan menjadi obyek dagangan para setan yang dengan dingin menggunakannya untuk meraih dan menghimpun simpati dan dukungan warga yang sungguh-sungguh tertindas, meliuk-liuk serta melingkar-lingkar bergerak di ranah publik atas nama pemenangan kuasa politik.
Barrack Obama berusaha keras menepis citra tertindas pada setiap kampanye politik konvensi calon presiden Partai Demokrat Amerika Serikat, meskipun ia berasal dari kehidupan yang erat dengan ketertindasan. Ia tak ingin menggunakan warna kulitnya sebagai argumen dasar orang mendukungnya. Ia ingin tampil dengn mutu intelektualitas, mutu kenegarawanan, mutu sikap sosial, dan bukan sebagai warga kulit hitam.
Namun, ia tak bisa menampik ketika kenyataannya dukungan cukup besar berasal dari warga kulit hitam Amerika Serikat, tanpa berniat mengabaikan dukungan yang berasal dari kalangan menengah terdidik dan terinformasi yang muak dengan kemunafikan elit politik dan elit modal sepanjang lebih dari limabelas tahun terakhir. Meskipun ia menyadari hal itu, Barrack Obama tetap konsisten menunjukkan mutu terbaiknya sebagai seorang politikus santun yang tak hendak menjual ketertindasan, tetapi harapan bagi perubahan. Ia biarkan ketertindasan cukup melekat di ingatan kolektif publik, tetapi tidak pada tajuk kendaraan politiknya.
No comments:
Post a Comment