Awicaks
Sulit bagi saya menyimak dinamika perkembangan musik, baik musik Indonesia maupun dunia. Beban pekerjaan bisajadi menjadi salah satu faktor yang membuat saya tidak lagi anthusias mengikuti perkembangan dunia musik, meski itu adalah genre yang saya gemari. Namun saya merasakan ada hal lain. Ada keengganan beranjak dari apa yang sudah terpola dan terpateri di kepala, terutam tentang makna dan nilai estetika dari musik-musik masa lalu yang menemani masa-masa pertumbuhan dan pendewasaan diri. Tetapi ini hanya berlaku untuk musik, tidak untuk hal lain.
Di musik, saya masih tak mau beranjak dari kenyamanan menyimak lantunan lagu-lagu lama, baik karya seniman Indonesia maupun Barat. Lagu-lagu Harry Roesli, God Bless, Giant Step, Guruh Gipsy, bahkan nada-nada nakal dan jenaka Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks (OM-PSP) tak mampu digantikan oleh karya-karya seniman (cum industrialis) musik Indonesia masa kini seperti Project Pop. Hal sama juga berlaku dengan musik non-Indonesia. Pink Floyd, Led Zeppelin, Genesis, Paul Simon, Yes, Emmerson Lake and Palmer, Jethro Tull, King Crimson belum tergantikan oleh hiruk-pikuk musik masa kini.
Hal mendasar yang membuat saya nyaman dengan musik-musik lama adalah daya khayali yang saya peroleh dari menyimak. Tanpa berpretensi memperbandingkan, bayangan khayali yang terbangun ketika menyimak musik-musik koleksi lama rasanya membuat jarak waktu antara saya sekarang dengan saya di masa lalu tak terlalu jauh. Harus saya akui saya kadang seperti tak mampu mengendalikan navigasi waktu ketika sedang sendirian, seperti saat mengemudikan mobil, lalu mendengarkan lagu-lagu dari pemutar cakram digital. Saat itu saya seperti sedang membangun bayangan tentang mesin waktu, dimana saya seperti melihat diri sendiri di masa ketika pertama kali jatuh cinta pada lagu-lagu tersebut. Namun sekali lagi, fenomena itu hanya berlaku di musik....
Maka ketika saya mulai rajin berkegiatan di Facebook dan Multiply, saya mencoba untuk menelusuri, adakah orang-orang yang seselera dalam hal musik. Kejutan besar ketika saya menemukan ternyata banyak orang Indonesia yang berbagi selera musik. Saya sangat kagum pada sebuah artikel di blog Multiply yang membahas tentang label kaset YESS, yang pada masa SMP dan SMA sangat saya gandrungi. Koleksi kaset berlabel YESS tetap saya simpan, meski hanya sebagian yang masih bisa diputar dengan aman. Artinya, ia tak mengotori atau merusak piranti pemutar lagu tape recorder. Saya pun mulai bernostalgia. Saya ingat, kaset-kaset berlabel YESS selalu saya preteli gambar sampulnya yang berupa foto cetak dari gambar resmi album yang ditempel pada halaman sampul kaset. Kemudian sampul telanjang itu saya lipat, sehingga daftar lagu dan komposisi pemusik menjadi sampul kaset.
Berkali-kali saya pernah mencoba untuk belajar menikmati musik-musik mutakhir. Beberapa diantaranya ada yang berkesan, tetapi umurnya tidak panjang. Begitu saya kembali mendengarkan musik-musik lama, minat untuk mendalami musik mutakhir pun sirna. Bagi saya, musik yang didengar bukan sekedar sesuatu yang bisa dinikmati sambil lalu. Ia harus mampu menimbulkan rasa penasaran, "Sebenarnya, suasana batin apa di balik penyusunan lagu itu?" Atau, "Apa tafsir makna syair lagu-lagu itu?" Beberapa kelompok musik lama ada yang mencoba bertahan, meskipun para pelakunya sudah uzur. Lagu-lagu mereka saya dengarkan dan saya nikmati, tetapi meski dihasilkan oleh orang yang sama, karya mutakhirnya tak mampu menggeser kedudukan karya mereka di masa lalu, yang sudah begitu melekat dalam benak.
Sesungguhnya hal ini bukan perkara luar biasa. Namun Facebook dan Multiply membuka mata saya, ada banyak orang di Indonesia yang juga mengalami hal atau mengidap kecenderungan serupa. Nostalgia selamanya atau enggan berubah? Me no savvy....
1 comment:
ya apa? saya babikecap & tembangpribumi
Post a Comment