Awicaks
Kritik salah seorang pengunjung saya renungi dalam-dalam. Kenapa blog ini isinya melulu soal kemarahan? Saya berkaca, dan melihat diri saya sebagai orang yang tak mau hanya mengumpat di belakang menyikapi masalah-masalah yang ada, terutama yang kebetulan bersinggungan langsung dengan diri saya. Tetapi, saya tak dapat melakukan apa pun ketika menyaksikan (atau hanya sekedar membaca tentang) masalah-masalah yang dihadapi orang lain, dimana saya hanyalah seorang warga biasa tak berdaya, dan hanya bisa mengumpat. Berkat blog saya punya sarana untuk memuntahkan amarah dan kegelisahan. Menjadi warga Indonesia itu ibarat berpuasa, lahir dan batin diajak untuk berlatih menahan segala bentuk nafsu, salah satunya amarah, supaya terhindar dari berbagai kemungkinan tindakan hukum Negara yang kerap tak masuk di akal. Blog inilah sarana saya 'berbuka' dari segala bentuk pengendalian amarah dan gelisah menghadapi (dan merasakan langsung) kebobrokan penyelenggaraan Negara dan perilaku masyarakat sekitar. Tetapi kapan tibanya 'hari kemenangan' sebagai warga Indonesia setelah sekian lama 'berpuaa'?
Saya tak hendak menakar keikhlasan orang-orang yang begitu rajin berkirim SMS mengucapkan selamat Idul Fitri sebagai sebuah rutinitas tahunan. Juga tak punya niat melihatnya secara negatif menyikapi orang-orang yang tak peduli keselamatan diri dan keluarga mereka atas nama ritual mudik. Yang saya coba renungkan adalah ketika Idul Fitri terkerangkeng ke dalam pola psikomotorik belaka, yang sarat pemenuhan kebutuhan materialistik, sehingga tampak sekedar sebagai selebrasi atau perayaan. Mungkin benar bahwa Idul Fitri perlu dirayakan bersama. Namun tipis sekali batas antara perayaan spiritual dengan perayaan badaniah dan materialistik. Perayaan spiritual atas kemanangan setelah melakukan puasa lahir dan batin, mengendalikan segala bantuk nafsu, merupakan sesuatu yang indah dan agung. Namun ia sulit terhindar dari bentuk yang kasat tentang pemuasan (dendam) segala hal yang ditahan dan dikendalikan selama tigapuluh hari penuh. Menyantap segala macam hidangan istimewa nan lezat di siang hari, dan tak jarang melebihi takaran, saat Idul Fitri menjadi sesuatu yang luar biasa.
Sulitnya arus-utama gaya hidup dan tata-nilai masyarakat Indonesia sudah terlalu mapan dalam merayakan Idul Fitri dengan segala lagak dan ragamnya yang sarat nuansa pesta. Menjadi orang kaya selama seminggu, mengambur-amburkan uang untuk segala bentuk kegiatan yang sebelumnya tak pernah dilakukan, juga menjadi salah satu ragam bagaimana Idul Fitri dirayakan di Indonesia. Kartun Timun di Kompas Minggu, 28 September 2008, dengan tepat menggambarkan hal itu, "Setahun sekali laah..." Namun yang mengenaskan, konteks 'setahun sekali' bisa menjadi sesuatu yang tak terpulihkan (irreversible), misal, ketika satu keluarga tewas ketika mengalami kecelakaan lalu-lintas dalam perjalanan mereka pulang kampung untuk merayakan Idul Fitri. 'Setahun sekali' tak lagi bisa diterima begitu saja sebagai suatu pembenaran (justifikasi) bagi segala lagak dan ragam masyarakat Indonesia merayakan Idul Fitri.
Bagaimana saya akan merayakan Idul Fitri? Yang jelas saya tak perlu berkeras kepala melawan kelaziman-kelaziman yang telah terlalu mapan, seperti mengunjungi orangtua dan sungkem memohon maaf. Namun tidak untuk berpesta dan berbelanja berlebih (kecuali atas nama pencadangan akibatnya beringasnya perilaku belanja masyarakat menjelang Idul Fitri). Idul Fitri bagi saya adalah saat terbaik untuk mengunjungi sanak keluarga, kerabat dan sahabat yang selama satu tahun tak bertemu akibat kesibukan masing-masing. Ucapan 'maaf lahir batin' juga sulit dihindari, meskipun tak masuk akal, karena selama setahun kami tidak berjumpa dan tidak saling berinteraksi. Apa yang perlu dimaafkan? Karena itu Idul Fitri pun punya makna lain bagi saya, sebagai saat untuk rujuk dengan orang-orang yang selama ini bertikai atau berseberangan dengan saya (baik secara terbuka maupun diam-diam). Tak lebih dan tak kurang.
No comments:
Post a Comment