Awicaks
Status quo adalah keadaan statik yang dengan sengaja dibuat untuk mencegah timbulnya ketidakstabilan demi mempertahankan kepentingan-kepentingan tertentu. Namun status quo juga kerap digunakan untuk menunjukkan orang atau orang-orang. Merekalah yang bekerja sekeras mungkin agar keadaan statik tetap terjaga (intact). Secara umum kelompok orang itu mempertahankan keuntungan atau hak-hak istimewa (privilege) tidak lepas, tak peduli apakah hal itu akan membebani khalayak ramai (publik).
Demikian yang terjadi dengan perubahan setengah hati a la Reformasi Indonesia. Tumbangnya Suharto bukan berarti tumbangnya orang-orang yang selama beberapa dekade turut menikmati manisnya rejeki bersimbah darah dan airmata rakyat. Sebagian mereka sungguh-sungguh menghilang seperti ditelan bumi. Termasuk mereka yang tutup mulut rapat-rapat. Sementara sebagian lagi tak malu-malu tampil di hadapan khalayak ramai selayaknya orang-orang yang tak ada urusannya dengan kegemilangan Orde Baru. Ada yang melakukan operasi plastik, tampil reformis, kritis, galak dan membela rakyat banyak. Namun tak sedikit yang masih bertahan dengan gaya Orde Baru, tanpa malu-malu.
Politik kuasa di Indonesia tak dapat dipisahkan dari politik tanah dan kekayaan alam. Meski kita sering terlalu sibuk mengamati dan mengomentari dinamika politik, misal di Senayan, harusnya kita lebih jeli mengurut tali temali kuasa politik dan kuasa modal yang menjadi faktor pendorong. Tak perlu terkejut ketika ada perusahaan perkebunan kelapa sawit terlibat dalam penggelontoran uang suap ke yang terhormat para anggota dewan terkait dengan skandal Miranda Bank Indonesia. Kuasa modal dan kuasa politik merupakan pelaku kuat pada agenda-agenda statik mempertahankan hak-hak istimewa yang selama ini mereka nikmati. Jangan pula garuk kepala ketika mempelajari konflik-konflik berdarah di Maluku, Poso, Sampit dan tempat lainnya ternyata tak bisa lepas dari tarik-menarik kuasa politik dan kuasa modal terkait dengan urusan tanah dan kekayaan alam.
Status quo memang lambang dari kelompok anti perubahan demi melanggengkan keuntungan-keuntungan yang diperoleh. Sehingga ketika tekanan publik meningkat agar terjadi perubahan, yang umumnya berurusan dengan distribusi keuntungan dan manfaat yang lebih luas, reaksi kelompok status quo lebih mengarah ke penciptaan-penciptaan ilusi tentang perubahan. Istilah lips service atau retorika adalah untuk menggambarkan keengganan kelompok status quo untuk bersungguh-sungguh menggulirkan perubahan. Semua agenda perubahan yang dipertontonkan di ruang publik sudah dihitung sedemikian rupa dan sebisa mungkin untuk tidak mengurangi keuntungan kelompok status quo.
Saya pun teringat pernyataan Derom Bangun, Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), pada suatu acara dialog di Jakarta, baru-baru ini. Ia mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan kelapa sawit adalah motor pembangunan Indonesia. Bergabungnya perusahaan-perusahaan kelapa sawit besar dalam Round Table Sustainable Palm Oil (RSPO) mestinya dilihat sebagai keseriusan mereka dalam menjamin iklim usaha yang lebih berkelanjutan. Seruan Greenpeace untuk mendeklarasikan jeda (moratorium) perluasan perkebunan kelapa sawit yang melibatkan pembukaan hutan, pengeringan lahan gambut, ditanggapi negatif oleh Derom Bangun. "Kami akan mematuhi prinsip-prinsip dan kriteria RSPO, itu sudah cukup, tak perlu menerapkan moratorium." Padahal di lapangan, terutama di kawasan-kawasan perkebunan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan praktik-praktik pengrusakan hutan, penyerobotan tanah-tanah masyarakat serta penghisapan masyarakat masih terus berlangsung, seperti yang dilaporkan oleh seorang wakil petani dari Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) pada dialog yang sama.
Apakah contoh kecil di atas bisa digolongkan sebagai salah satu karakter dan perilaku status quo?
No comments:
Post a Comment