Saturday, October 04, 2008

Label Halal atau Label Bebas Racun?

Awicaks

Melamin dalam susu kemasan, plastik pada kudapan gorengan di pinggir jalan, formalin yang umum digunakan untuk mengawetkan mayat menjadi andalan pedagang untuk menjaga umur bahan pangan yang dijualnya baik itu ikan laut, tahu, tempe dan sebagainya, parafin atau bahan lilin digunakan untuk membuat tampilan buah apel merah merekah dan menarik pembeli, boraks digunakan untuk perekat bakso, bahkan merkuri menjadi bahan dasar bahan-bahan kosmetika murah. Mungkin daftar itu bisa lebih panjang lagi. Sekedar mengingatkan, bahwa orang di Indonesia hidup tanpa jaminan perlindungan keselamatan baik sekarang maupun bagi generasi ke depan, akibat bobroknya tatak-kelola penyelenggaraan Negara yang membiarkan (omit) warga Indonesia hidup di bawah asuhan bahan-bahan beracun. Belum terhitung pengemasan-ulang (refurbish) bahan makanan kadaluwarsa agar dapat dijual di pasar.

Raj Patel dalam bukunya, Stuffed and Starved, memaparkan bahwa tata-niaga industri makanan dunia semakin hari cenderung mengabaikan keselamatan konsumen, terutama terkait dengan produk makanan massal, atas nama jaminan keamanan dan keselamatan produksi dan distribusi. Dengan sinis ia mengatakan, hanya orang-orang kaya yang berhak menikmati makanan lezat, sehat dan bebas dari pengaruh bahan-bahan beracun. Konteks racun pada paparan Patel tidak seharafiah yang kita hadapi di Indonesia. Ia mengacu kepada bahan-bahan yang memiliki dampak pada metabolisme tubuh jangka menengah dan panjang serta kumulatif, seperti bahan-bahan karsinogenik (pemicu kanker), kandungan kholesterol tinggi, natrium tinggi, serta bahan-bahan kimia yang mampu menjamin merosotnya daya pikir manusia. Patel pasti akan menulis buku baru jika ia kerap menonton Reportase Investigasi yang disiarkan TransTV.

Akibat tipisnya batas-laba (profit margin) pedagang-pedagang kecil yang menjajakan produk makanan massal menghalalkan segala cara demi menambah nilai pendapatannya meski cuma serupiah. Boro-boro memkikrkan keselamatan konsumen, mereka pun mesti menjamin ada nasi dan lauk-pauk di atas meja di rumah mereka, akses ke layanan kesehatan serta biaya pendidikan yang makin hari makin membengkak meski sudah ada Bantuan Operasi Sekolah (BOS). Mungkin bagi para pedagang tersebut yang penting barang yang mereka jual bebas dari bahan-bahan yang digolongkan haram. "Biar racun yang penting halal...."

Seringkali saya gemas dengan prinsip-prinsip kebijakan yang dogmatik terkait dengan bahan makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Orang lebih pusing memilih label halal daripada keamanan makanan. Mestinya label halal tidak hanya mencakup soal bahan-bahan mengandung daging atau produk turunan dari babi, tetapi juga mencakup bahan-bahan beracun berbahaya bagi kesehatan manusia. Masih ingat bagaimana produk bermerek dagang Ajinomoto kolaps akibat selentingan (yang kemudian konon telah dibuktikan secara ilmiah) yang menyebutkan bumbu penyedap tersebut mengandung lemak babi? Tanpa berkehendak membela mereka dagang itu, bumbu penyedap tersebut semestinya dilarang bukan hanya karena argumen lemak babi tetapi juga karena mengandung monosodium-glutamat (MSG), yang terbukti secara ilmiah mampu menjami kemerosotan daya pikir manusia, jika ia dikonsumsi sejak masa kanak-kanak.

Dimana para pejabat penyelenggara Negara ketika menghadapi maraknya pembelejetan-pembelejetan ketidakamanan bahan makanan yang dikonsumsi warga? Seperti biasa, mereka akan melakukan tindakan-tindakan kasuistik yang tak cerdas. Mencari penjahatnya, menindaknya secara hukum, tanpa ada keinginan se-inchi pun untuk membongkar total bobroknya tata-kelola distribusi bahan makanan dan bahan-bahan kebutuhan pokok. Bagaimana reaksi mereka terhadap sinyalemen kandungan melamin dalam susu kemasan yang diimpor dari Cina? Sikap defensif yang sama diperlihatkan penyelenggara Negara ketika seorang peneliti menemukan kandungan bakteri pada susu kemasan yang beredar luas di pasar dan telah mendapatkan sertifikasi aman dari Departemen Kesehatan. Atau soal flu burung? Atau sapi gila?

Jika kita membaca buku Raj Patel maka akan terlihat kaitan erat antara maraknya makanan-makanan kemasan, tata-distribusi bahan makanan, maraknya waralaba toko-toko eceran, meningkatnya laju pemberangusan petani-petani kecil atas nama upaya membuat mereka "naik kelas" menjadi buruh dari industri pertanian skala besar, dan lainnya, yang hakekatnya berputar-putar pada persoalan menggenjot angka-angka pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan satu indikator mahapenting: Daya beli penduduk! Entah ini adalah buah suatu kebijakan yang tolol yang mendorong konsumerisme skala raksasa di sekujur negeri, atau suatu kesengajaan untuk menciptakan warga yang bodoh dan patuh kepada kelas penguasa?

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: