Sunday, October 26, 2008

Bahan Galian, Bahan Keruk, dan Potret Dehumanisasi di Pelosok

Awicaks

Penasaran oleh gencarnya berita-berita di koran-koran utama, saya pun menonton film Laskar Pelangi. Saya belum membaca novel yang ditulis oleh Andrea Hirata itu. Yang membuat saya tergelitik menonton adalah rasa penasaran saya untuk melihat (meski sedikit), bagaimana potret sebuah pulau kecil (Pulau Belitung, meskipun tidak sesuai dengan definisi UNESCO saya tetap menggolongkan pulau ini sebagai pulau kecil, karena daya dukung lingkungannya yang serba terbatas) yang digali dan dikeruk hingga luluh lantak, bahkan hingga rontoknya kuasa modal si penggali dan pengeruk?

Meski sedikit dan terbatas, film ini menampilkan dengan baik hasil ikutan yang tak terhindarkan serta tak pernah diakui secara terbuka oleh Negara dan para pelaku pertambangan: Potret dehumanisasi orang-orang yang tinggal di lingkar wilayah galian. Gelontoran ampas galian (tailing) yang sudah tentu dibuang ke laut menyebabkan Ayah Lintang harus melaut lebih jauh, karena komposisi komunitas ikan-ikan tentu terpengaruh olehnya. Bahkan Lintang harus kehilangan sang ayah dan memaksanya menghentikan langkah-langkah kecilnya menuju cita-cita nan akbar. Serba sedikit, bahkan mungkin tanpa niatan tertentu, praktik pertambangan di Pulau Belitung nyata-nyata melibatkan buruh anak-anak. Sebuah tolok ukur terdepan dari kejadian dehumanisasi (pemerosotan martabat manusia).

Orang-orang yang menikmati sudah pasti berkilah, "Kami menghidupkan ekonomi setempat. Warung-warung marak, orang-orang dapat kerja, dan sebagainya. Bandingkan jika bahan berharga itu tidak digali dan tidak dikeruk, pulau itu tentu tetap terbelakang...."

Kemegahan hasil ikutan, seperti ekonomi setempat, akan sirna bersamaan dengan menyusutnya jumlah bahan galian dan bahan keruk. Ia tak seperti pohon, yang bisa ditanami ulang. Bahan galian dan bahan keruk akan lenyap selama-lamanya ketika ia dikeluarkan dari ceruk-ceruk perut bumi. Tak akan pernah ada konsep pemulihan, karena praktik pertambangan adalah merombak bentang alam, bentang sosial dan bentang budaya setempat. Ia adalah kegiatan manusia yang sekali dimulai tak akan pernah ada titik untuk kembali. Berapa besar keuntungan moneter Negara dari kegiatan tersebut? Jika ia digolongkan sebagai salah satu sektor pembanguna, mestinya ia menyejahterakan warga. Kenyataannya justru dehumanisasi yang terjadi. Ketika kuasa modal nan angkuh hengkang dari wilayah galian, warga setempat akan mengais-ngais ampas.

Pertambangan itu ibarat orang buang air besar yang tidak menyiram ampas mereka. Dibiarkan begitu saja. Tinggal orang-orang yang menggunakan setelahnya yang sengsara oleh busuknya bau ampas orang itu. Di penghujung film, Ikal dewasa dengan narasinya menjelaskan, bahwa kemegahan di masa kecil di pulau itu lenyap seiring dengan habisnya bahan galian dan bahan tambang, serta robohnya tiang-tiang penyangga kuasa modal di balik operasi raksasa itu.

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: