Saturday, November 08, 2008

O(ba)ma Irama, Irama Obama, "Darah muda, darahnya para remaja...."

Awicaks

"New generations draw the line!" Begitu kata Mbah Noam Chomsky, menyerukan batas tegas antara mereka pendamba perubahan versus kelompok status quo, yang semakin menguat di berbagai lapis kehidupan planet. Ketika seorang laki-laki muda, mengendap-endap muncul di permukaan menawarkan garis batas tegas terhadap status quo, Barrack Obama, Mbah Chomsky tersenyum hati-hati. Harapan dan perubahan menjadi kata kunci kampanye Barrack Obama sejak awal hingga ia memenangkan pemilihan umum presiden Amerika Serikat secara telak. Akankah terjadi perombakan atas nama harapan (yang mesti dibaca sebagai lahar frustrasi publik), dan bukan sekedar tambal-sulam atau modifikasi atau reformasi atau bahkan bedah plastik? Jangan dulu berpesta pora. Sulit memastikan apakah telah terjadi kekalahan status quo.

Bolehjadi mereka sudah punya resep penangkal yang disusun setelah membaca tanda-tanda kekalahan ayam aduan mereka. Kalau begitu, apa yang bisa sungguh-sungguh menamatkan dan melumatkan kelompok status quo dan mencegah lahirnya status quo baru? Inilah arena diskusi paling mutakhir. Fenomena Fadjroel Rahman dan Rizal Mallarangeng masih dipandang dalam perspektif generasi tua versus generasi muda. Mungkin tidak dengan Fadjroel yang bersungguh-sungguh melakukan perombakan dengan terus tak kenal lelah mengejar landasan hukum yang mengakui calon independen (baca: bebas dari pengaruh ketamakan partai politik di Indonesia). Meskipun menurut saya pribadi pilihan yang diambil Fadjroel terlalu santun untuk menghadapi kelompok status quo Indonesia yang ketamakannya tak terperi, yang butuh ledakan besar untuk memulai perombakan.

Dengan secara sadar mengenyampingkan keshahihan konteks Negara pada Republik Indonesia, serta menerima (dengan lapang dada) semua ketelanjuran yang telah terjadi sepanjang lebih dari enam dekade, perombakan tak mungkin dapat mengandalkan satu jurus saja, menjadi presiden republik amburadul ini. Menjadi presiden bolehjadi hanya satu batu lompatan kecil dari rute yang begitu panjang menuju suatu masyarakat terbayangkan bernama Bangsa Indonesia dengan segala rumusan idealistik tentang karakter, tata-nilai, tata-kuasa, tata-produksi, tata-konsumsi dan tata-hukumnya. Belajar dari pengalaman menjadi orang Indonesia selama lebih dari empat dekade, saya lebih memusatkan perhatian pada kerapuhan karakter pada lingkup komunitas, akibat gempuran tak kenal lelah tata-konsumsi yang memberhalakan barang dan jasa industrial lebih dari empat setengah dekade terakhir.

Bacaan kritis seperti ini, yang menjadi sumber-sumber inspirasi Obama, seperti tertuang pada pikiran-pikirannya.

"In the end, that's what this election is about. Do we participate in a politics of cynicism or a politics of hope? John Kerry calls on us to hope. John Edwards calls on us to hope. I'm not talking about blind optimism here -- the almost willful ignorance that thinks unemployment will go away if we just don't talk about it, or the health care crisis will solve itself if we just ignore it. No, I'm talking about something more substantial. It's the hope of slaves sitting around a fire singing freedom songs; the hope of immigrants setting out for distant shores; the hope of a young naval lieutenant bravely patrolling the Mekong Delta; the hope of a millworker's son who dares to defy the odds; the hope of a skinny kid with a funny name who believes that America has a place for him, too. Hope in the face of difficulty. Hope in the face of uncertainty. The audacity of hope." (sumber: transkrip pidato Obama pada Konvensi Nasional Partai Demokrat tahun 2004)

Ini adalah irama Obama. Bukan sekedar lagu O(ba)ma Irama, "Darah Muda."

"Darah mudah darahnya para remaja
yang selalu merasa gagah tak pernah mahu mengalah
masa muda masa yang berapi-api
yag mahunya menang sendiri
walau salah tak peduli
darah muda..."

(sumber: lirik lagu Rhoma Irama, "Darah Muda")

Sebuah gambaran yang lumayan mewakili sterotip kalangan muda yang dipahami di sekitar kita: Serba praktis, ingin cepat sampai, hajar dulu baru tanya, dan sebagainya. Bacaan yang mutakhir dengan sudut baca yang kaya akan menghasilkan argumen-argumen tanding yang kuat dan solid untk menghantam pembodohan yang telanjur berlarut-larut berlangsung di masyarakat Indonesia.

Sekali lagi, ini bukan soal tua atau muda. Ini soal pemikiran serius membongkar liatnya benteng-benteng kelompok status quo, yang secara naluriah, akan terus mempertahankan ruang dan hak-hak istimewa mereka. Jika bedah plastik menjadi keharusan ketika lawan mereka menguasai arena, kelompok ini tentu akan melakukannya tak peduli besarnya biaya dan resiko, sepanjang segala keuntungan yang selama ini mereka genggam tak terlepas begitu saja. Bacaan tentang hal ini mesti menjadi sumber-sumber rujukan penting bagi orang-orang yang punya nyali menjadi pembaharu.

Hal lain yang penting menjadi hirauan orang-orang macam Fadjroel atau lainnya adalah soal jarak. Jarak fisik, jarak emosi dan jarak intelektual. Ini menyangkut kemauan untk menjangkau (secara fisik, emosi, dan intelektual) dinamika kehidupan yang hendak diurus. Pemutakhiran (updating) potret nyata kehidupan warga menjadi hal yang mutlak dilakukan, ketika orang-orang macam Obama berhasil duduk di singgasana kuasa politik Negara. Yang jelas, tata-kuasa terpusat sudah menunjukkan efektifitasnya menghasilkan cara baca yang myopik (rabun jauh). Asumsi menjadi raja. Penjilat meraja-lela. Sementara tata-kuasa desentralistik dengan tata-krama berlapis-lapis pun berpeluang menghasilkan cara baca yang cenderung menyederhanakan serta berpeluang lost in transmission, tersesat dalam pengaliran pesan.

Argumentasi cangggih yang solid, cara baca yang serba mutakhir dan kaya sudut, serta jarak (fisik, emosi dan intelektual) yang relatif pendek dengan warga menjadi kunci bagi generasi pendobrak dan pembaharu membuat garis batas pemisah yang tegas dengan generasi pemuja berhala status quo.

"Darah muda, darahnya irama Obama...."

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: