Awicaks
Poznan, bekas ibukota Polandia, sebuah kota klasik dengan ciri-ciri arsitektur Eropa yang khas, dipilih sebagai tuan rumah penyelenggaraan Konvensi Parapihak dari Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk Perubahan Iklim, atau terkenal dengan sebutan UNF3C. Sebuah konvensi yang paling diminati dan paling banyak menyedot perhatian beragam kalangan serta merangsang perdebatan panas. Tonggak kesepakatan monumental, Protokol Kyoto, bahkan dijadikan sebagai papan pengumuman oleh George W. Bush, tak lama ia dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat ke-43, untuk menunjukkan kepada warga planet sikap dan posisi politik Amerika Serikat yang egoistik, berdiri tegak menolak solidaritas global untuk menahan diri bersama-sama negara-negara industrialis maju mendorong pertumbuhan ekonomik berbasis model yang rakus tanah, rakus minyak, rakus buruh murah, rakus air, dan pada saat yang sama membuka ruang bagi negara-negara berkembang mengejar ketertinggalan dengan cara-cara yang lebih baik dari model yang selama ini menjadi berhala sejagad, pasar bebas.
UNF3C dengan Protokol Kyoto-nya pun dijadikan domain tempat bertemunya berbagai dinamika politik-ekonomi dunia, serta papan catur geopolitik strategis, mengingat persentuhannya dengan mata-rantai penting kompleks industri militer, sektor energi. Sepanjang dua minggu terakhir saya berada di ajang tersebut, dengan segala hiruk-pikuk bazaar tahunan, menjual beragam teknologi, pilihan-pilihan asuransi keselamatan menghadapi dampak perubahan iklim, dan bahkan tak segan menawarkan obat mujarab menyiasati perubahan iklim. Saya menggigil. Bukan hanya karena suhu udara Poznan yang memang sungguh-sungguh dingin, tetapi menggigil karena dinginnya manusia menggunakan potret kemiskinan dan penderitaan orang-orang, yang bolehjadi tak tahu menahu tentang perubahan iklim, sebagai ajang penghimpunan dan penggalangan dana dan konsolidasi kekuasaan demi pelanggengan hak-hak istimewa segelintir orang dari segelintir kelompok di muka planet. Di setiap sudut arena konvensi terlihat orang-orang duduk serius membicarakan peluang-peluang bisnis menggiurkan, sambil berjuang menangani dampak perubahan iklim. Tak jelas, mana yang tujuan mana yang bonus.
Para pemain catur selama proses perundingan dikelompokkan dengan basis yang aneh. Ada kelompok payung, kelompok lampiran satu, kelompok Uni Eropa, kelompok negara-negara yang belum maju, kelompok Afrika, kelompok pemerintahan dari 77 negara plus Cina, kelompok ekonomik transisi, kelompok negara-negara pulau kecil, dan kelompok negara-negara berkembang pulau kecil. Satu negara bisa masuk ke lebih dari satu kelompok. Bahkan saya sering bingung ketika pada rapat pleno seorang wakil delegasi pihak menyebutkan bahwa komitmen negaranya sejalan dengan komitmen kelompok(-kelompok) dimana negara itu menjadi bagian. Apa yang terjadi seandainya kelompok-kelompok tersebut tidak memiliki sikap yang sama? Sejauh yang saya pahami, memang belum pernah terjadi. Tetapi jika hal tersebut terjadi, tentu akan memperlambat dan menghambat proses-proses dialog dan negosiasi.
Sebuah jejaring organisasi-organisasi masyarakat sipil Indonesia memandang perubahan iklim sebagai bukti tak-terbantahkan rudinnya model pembangunan global yang sepanjang lebih dari lima dekade didorong oleh negara-negara industri maju ke seluruh sudut muka bumi. Sebuah model pembangunan yang, seperti saya telah sebut di atas, rakus tanah, rakus minyak, rakus buruh murah, rakus air, rakus mineral, dan mempercayai efektifnya proses penetesan kemakmuran dari kelompok berhasil kepada kelompok kurang atau tidak berhasil. Saya kira, saya sepakat dengan pendapat tersebut. Perubahan iklim hanyalah gejala. Ibarat penyakit, ia adalah gejala dari sebuah penyakit khronik yang tak-tersembuhkan dan tak-terpulihkan. Tak heran jika arena-arena diskusi tentang jalan keluar diberi judul adaptasi dan mitigasi.
Kedua judul itu jelas-jelas menunjukkan suatu “kepasrahan”, atau kalau boleh disebut sebagai “keengganan berubah” kelompok-kelompok yang selama ini merupakan penerima manfaat terbesar model pembangunan global tersebut. Adaptasi secara harafiah bermakna, tindakan-tindakan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan. Sementara mitigasi secara harafiah bermakna, tindakan-tindakan untuk “mengurangi dampak” yang timbul akibat perubahan-perubahan yang terjadi. Maka tak heran arena konferensi sarat dengan anjungan-anjungan dengan tawaran menarik bahkan ada yang mampu membuat marah.
“Low Carbon Lifestyle – Low Economy – Nuclear is the Solution!”
“Make A Right Decision to Cope with Climate Change – We Give You the Best Image Resolution to Measure Carbon Loss of the Forest”
“The Best Carbon Accounting Method to Get Better Appraisal”
“Get Rid Off Poverty! The Mitigation Strategy”
Pesan-pesan itu membuat segerombolan kalangan muda dari berbagai organisasi dan jejaring organisasi muak, marah dan bahkan ada yang (ingin) menangis. Eli, seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Vermont, Amerika Serikat, yang berasal dari Republik Demokratik Congo, dengan santun berkata pada salah satu seminar yang diselenggarakan oleh 350.org, “Semua orang bicara tentang target penurunan emisi 2020, target 2050, tetapi kami yang nanti menjadi pengambil keputusan sama sekali tidak dilibatkan. Mereka yang bicara target itu justru orang-orang yang sudah tua, yang mungkin sudah meninggal semua ketika tahun pemenuhan target itu tiba. Dan kami tidak bodoh. Kami tidak percaya dengan slogan dan iklan-iklan asuransi keselamatan menghadapi perubahan iklim yang tersebar di pelosok arena konferensi. Kami lebih percaya pada tindakan. Tindakan yang bertanggungjawab kita semua.”
“PBB bukan satu-satunya cara untuk memecahkan masalah perubahan iklim. Mestinya kita pun tak perlu berlelah-lelah terbang ke sini untuk mempengaruhi atau paling tidak menarik perhatian para diplomat dan politikus serta para juru runding di arena konferensi, karena mereka dibebani bagasi kepentingan sebelum berangkat ke sini. Misi mereka adalah untuk memenangkan kepentingan itu at any cost,” saya katakan itu kepada Eli dan kawan-kawannya dari jejaring 350.org ketika kami makan malam bersama di salah satu rumah makan di sudut Old Market Square. Tempat dimana para aktivis gerakan lingkungan, orang-orang dari berbagai organisasi dan jejaring organisasi melepas penat setelah seharian bergerak kesana kemari di arena konferensi.
Karolina Romanek, seorang aktivis muda dari Hungaria, sepakat. Ia melontarkan gagasan tentang gelombang aksi kalangan muda sejagad menekan para pengambil keputusan di negara masing-masing untuk melakukan tindakan nyata dan drastik. Dan aksi itu, menurutnya, sangat baik jika dilakukan serentak. “Dan itu tugas Anda untuk menyiapkan pilihan rute-rute jalan keluar,” ujar Karolina sambil menunjuk saya. Karolina menambahkan, bahwa tanggjung jawab historik orang-orang berusia di atas 30an sekarang untuk tidak semena-mena menentukan pilihan rute kehidupan sejagad lewat konferensi ini. “Berikan kami pilihan-pilihan berikut argumen-argumen yang mendorong kami mampu belajar dengan cepat, agar dapat segera terlibat dalam pengambilan-pengambilan keputusan bersama generasi Anda.”
Konferensi tingkat tinggi ini akhirnya gagal mencapai keputusan solid. Sebuah rencana kerja disepakati, tetapi tidak ada keputusan penting, kecuali soal perubahan tanggal konferensi berikutnya di Copenhagen, Desember 2009. Beberapa kawan menyebut ini sebagai sebuah anti-klimaks. Tidak ada kepemimpinan yang muncul, kecuali para jawara dari gelombang tawuran kelompok untuk bertahan pada zona nyaman masing-masing. Tidak tampak ada yang mau memimpin dan siap menerima resiko perubahan-perubahan yang mungkin terjadi. Konferensi ditutup pada pukul dua dinihari. Wajah penat para peserta konferensi tampak jelas. Ada yang terlihat kecewa, ada yang tampak puas dan saling bersalaman, tetapi tak sedikit yang terlihat kebingungan. Sayang saya tak sempat mengajak kelompok yang bingung dengan hasil konferensi karena penat luar biasa. Ketika melangkah meninggalkan arena konferensi, para petugas logistik terlihat sibuk membongkar anjungan-anjungan yang selama dua minggu memadati koridor yang menghubungkan ruang pertemuan satu dengan yang lain. Tak jelas apakah para agen asuransi keselamatan dari perubahan iklim itu berhasil menggaet pelanggan atau tidak. Sepanjang koridor hingga gerbang pintu keluar deretan truk berukuran besar serta truk kontainer antri di areal parkir arena konferensi.
Pagi sangat dingin. Papan temperatur di atap gedung konferensi menunjukkan minus dua derajat Celcius. Saya melangkah lunglai ke setopan trem dengan kecamuk di kepala, “Kapan orang berhenti percaya kepada para diplomat dan politikus serta para juru runding ini dan bergerak dan bertindak serentak memecahkan masalah tanpa perlu mempedulikan keberadaan Negara?”
1 comment:
Hidup Komunis.....
Post a Comment