Sunday, October 18, 2009

Sinetron Di Depan Hidung

Awicaks

Cukup lama saya tidak mengisi Titik Didih. Selain karena sibuk (harfiah), juga karena saya menghadapi absennya rasa kritis terhadap situasi sekeliling. Jangan salah duga. Bukan berarti apa yang terjadi di sekeliling sudah memenuhi harapan dan ideologi, tetapi rasa kritis saya sudah menjelma menjadi rasa muak luarbiasa, karena hal itu tidak lagi berjarak. Dulu ia berada nun di sana, diwakili oleh berita di koran, internet dan sebagainya. Kini ia berada di depan hidung.

Sinetron itu dulu berjarak dari saya. Sehingga saya bisa merasakan ada ruang kebebasan untuk mengungkapkan pandangan tentangnya. Kini ia tersaji setiap hari di depan hidung. Tidak ada jarak sama sekali. Di luar kehendak, saya pun terpaksa larut menjadi salah satu pemeran sinetron murahan itu. Sinetron yang, seperti drama-drama kehidupan di Indonesia, senantiasa berurusan dengan kekuasaan dan uang. Tidak lebih tidak kurang.

Seperti halnya panggung sandiwara atau sinetron yang banyak dibaca dan ditonton lewat medium perantara, yang tersaji di depan hidung pun begitu vulgar dalam menonjolkan aspek kekuasaan dan uang. Penonton, dan bahkan pelaku lain pun, dipaksa percaya bahwa pertunjukkan ini adalah tentang sesuatu yang mulia. Tentang perubahan. Tentang pembaruan. Yang, kabarnya, semua berbasis pada suatu tata-kelola universal yang baik. Namun pada praktik penyutradaraan dan penyuntingan semua prinsip-prinsip tata-kelola universal yang baik itu dilanggar dengan tenang dan berdarah dingin, sambil secara konsisten meyakinkan penonton, serta pelaku lain, bahwa ini adalah semua mengarah kepada sesuatu yang agung dan mulia…

Sebuah pertunjukan yang buruk, baik itu sandiwara, film atau sinetron, senantiasa diusung secara paksa, diulang-ulang secara konsisten, sehingga suatu kebohongan pun akhirnya terpaksa diterima sebagai kebenaran, atas nama menghindari kehebohan, huru-hara dan bahkan konflik. Mereka yang memiliki akses kepada kekuasaan dan uang senantiasa berusaha meyakinkan diri mereka sendiri bahwa tidak ada satu lubang kesalahan pun yang luput dari pengawasan dan kendali mereka. Padahal penonton, serta pelaku lain yang sama-sama berlakon di atas panggung, secara gamblang paham dan tahu bahwa itu hanyalah sebuah ekspresi ketidakamanan dan ketidaknyamanan. Sebuah ketakutan yang ditumpuk setiap saat, yang pada gilirannya selalu tampil sebagai suatu sosok dan suasana yang bengis.

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: