Friday, December 17, 2010

Istimewa, Khusus, Khas?

Awicaks

Pemahaman saya tentang keistimewaan sesuatu atau seseorang berurusan dengan sifat, watak atau penciri fisik yang khusus dan seringkali khas, serta secara kuantitas dan kualitas melebihi yang lain dari kelompok sama. Namun ‘istimewa’ bisa bermakna berbeda tergantung tujuan dan latar penggunaannya. Ada yang bersifat melekat, umumnya bersifat bawaan, seperti bakat, kemampuan. Tetapi ada juga yang umurnya singkat, seperti pada kegiatan pemasaran, “Penawaran istimewa menjelang Idul Fitri….”

Sewaktu saya kecil sering terlintas pertanyaan yang mengganggu, “Kenapa Yogyakarta dan Aceh disebut daerah istimewa?” Saya tidak bertanya soal Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, karena dari namanya saja sudah jelas menggambarkan kedudukannya sebagai pusat pemerintah Republik Indonesia.

Jawaban resmi tentang Yogyakarta dan Aceh baik dari ayah saya maupun orang lain yang lebih berpengetahuan dan berpengetahuan tidak pernah memuaskan saya. Mungkin karena waktu itu masih sepuluh tahun mereka memberi saya alasan keistimewaan Yogyakarta karena bentuk pemerintahannya, sebuah kerajaan (monarkhi) di dalam wilayah negara berbentuk republik. Sedangkan Aceh karena sumbangan pesawat terbang (Seulawah) kepada Republik Indonesia ketika di awal perjalanannya.

Ketika beranjak remaja, ada beberapa penjelasan, baik resmi maupun tidak resmi, yang membuat saya mempertanyakan banyak hal. Pertama, untuk kasus Yogyakarta, apakah ini soal ego Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan merasa lebih tua dibandingkan Republik Indonesia? Untuk kasus Aceh, apa betul ini hanya soal sumbangan pesawat terbang?

Bagaimana dengan pemberontakan Daud Beureuh? Sedangkan pertanyaan yang bersifat umum adalah, apakah keistimewaan kedua daerah itu bersifat permanen? Dapatkah keistimewaannya lenyap atau berkurang perlahan-lahan? Jika itu terjadi, tentu saja ada urusannya dengan alasan mendasar yang membuat keduanya mendapatkan status istimewa.

Setelah dewasa perlahan saya pun mulai mendapatkan pengetahuan yang lumayan tentang keistimiewaan dan kekhususan beberapa pemerintah daerah. Pemahaman saya tentang keistimewaan suatu pemerintahan daerah semakin lebih baik saat Papua memperoleh privilege yang lebih kurang sama dengan Yogyakarta, Aceh dan juga DKI Jakarta, setelah Suharto turun, Mei 1998. Yang menarik, keistimewaan Papua, dengan nama Otonomi Khusus, dipercepat setelah Timor Timur lepas dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).  

Masing-masing daerah punya latar sejarah yang khas terkait dengan keutuhan NKRI, terutama di awal-awal perjalanan Republik Indonesia. Termasuk Papua, yang masuk ke dalam wilayah NKRI setelah dilakukan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969, sebagai tindak lanjut dari New York Agreement pada tahun 1962. Pepera sendiri masih menyisakan permasalahan yang tidak pernah didudukkan hingga saat ini karena ada banyak pihak mencurigai keras ada kecurangan di balik proses tersebut.

Aceh punya kisah tersendiri. Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh.

Pemerintahan Aceh adalah kelanjutan dari Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan.

Yang menarik adalah latar keistimewaan Yogyakarta. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan. Status istimewa diberlakukan mulai dari masa pendudukan VOC, Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang).

Oleh Pemerintah Pendudukan Hindia Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen, sedangkan Jepang menyebutnya Koti/Kooti. Status ini memberi keistimewaan dimana Kesultanan Yogyakarta memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan.

Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Soekarno, yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI. Tetapi keistimewaan Yogyakarta bukan sebagai negara, melainkan sebagai sebuah daerah yang menjadi bagian Republik Indonesia.[1]

Kenyataannya, beberapa minggu setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, atas desakan rakyat dan setelah melihat kondisi yang ada, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada hari yang sama.

Latar sejarah di atas tentu tidak lengkap jika kita melupakan peran Kesultanan Yogyakarta, terutama Sultan Hamengkubuwono IX, dalam masa perjuangan fisik di awal-awal Indonesia merdeka. Peran yang selama lebih dari empat dekade dikorupsi oleh Suharto, lewat catatan sejarah resmi tentang kisah patriotik dirinya dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.

Hmmm, saya jadi penasaran. Bagaimana orang-orang, macam SBY, Patrialis Akbar, Gemawan Fauzi, serta mereka dari Partai Demokrat, memahami sejarah dan memaknai keistimewaan daerah-daerah yang ada, khususnya Yogyakarta, sehingga mereka masih juga pongah dengan apa yang mereka inginkan? Ada di balik ini semua?

Sekarang anak saya sudah dua, mereka beranjak remaja. Seperti halnya saya waktu kecil, mereka pun bertanya tentang keistimewaan Yogyakarta. Mereka tidak menanyakan hal-hal mendasar, karena dengan mudah dapat ditelusuri melalui internet. Pertanyaan mereka langsung menukik ke gonjang-ganjing menyangkut SBY (dan kabinet dapurnya) dan Partai Demokrat.

“Saya teringat, waktu membuka Bali Democracy Forum III di Nusa Dua, Bali , SBY menyatakan, demokrasi bukan sesuatu yang dapat dipaksakan dari luar[2]. Tetapi kenapa dalam kasus DIY SBY ngotot memaksakan Pilkada Gubernur secara langsung kepada warga DIY?” Tanya si sulung. Hmmm….

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

1 comment:

Sewa Mobil Surabaya said...

dari ISTIMEWA hingga HISTORIES ACEH, BUNG KARNO, MEMPERTANYAKAN KEISTIMEWAAN YOGYA SAMPAI SBY. article yg bagus untuk menambah wawasan gan.terima kasih