Monday, December 13, 2010

Malapetaka Tak Kunjung Usai Itu Bernama Pertambangan

Awicaks

Industri pertambangan merupakan sumber malapetaka bagi keberlanjutan hidup warga di berbagai pelosok Tanah Air. Industri yang dianggap sebagai primadona dan mesin devisa Negara ini justru merupakan momok bagi keselamatan warga dan daya pulih produktifitas mereka, serta keberlanjutan fungsi-fungsi alam.

Daya rusak tambang tersebut masih belum dipahami secara luas sebagai karakter yang melekat pada industri pertambangan. Daya rusak pertambangan tidak terpisahkan dari hak-hak istimewa industri pertambangan yang diberikan oleh pengurus negara atas nama pendapatan atau devisa negara.

Industri pertambangan dan industri energi di Indonesia begitu bebas menggunakan sumberdaya dan sarana publik. Di Kalimatan Selatan kerusakan jalan umum sepanjang 293 Km terjadi akibat tingginya lalu-lintas pengangkutan batubara dari kawasan keruk ke pintu-pintu keluar menuju pasar. Ironisnya biaya perbaikan dan perawatan sarana dan prasarana publik tersebut dibebankan pada anggaran negara.

Mengapa diistimewakan? Apakah karena pertambangan menyumbang pajak lebih besar ketimbang industri lain? Tetapi ternyata sumbangan sektor pertambangan umum tidak lebih dari 4% tiap tahunnya kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diperoleh dari royalti dan pajak.[1] Hal ini menjadi ironi karena karut-marut dan korupnya pengurusan perpajakan di Indonesia.

Lebih ironik karena kecengengan para pelaku usaha yang meminta perluasan hak-hak istimewa (privilege) mereka yang saat ini sudah cukup berlimpah, pada National Summit, 29 Oktober 2009, mengawali Program 100 Hari Kabinet SBY Jilid Dua. Padahal tanpa perlu merengek-rengek pada National Summit kalangan investor dan pebisnis sudah memiliki kemudahan dalam perijinan usaha dan investasi, terutama pada sektor pertambangan dan sektor energi. Hal ini sangat kasat pada Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.[2]

Hak istimewa lain dari industri pertambangan dan energi adalah pada, bagaimana industri ini menggunakan ruang. Mengacu kepada Undang-undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, peruntukkan kawasan bagi kegiatan pertambangan dan energi diperlakukan sama dan setara dengan kegiatan pertanian, kehutanan, perkebunan, dan perikanan, dimana kegiatan pembongkaran kerak bumi, pengerukan bahan mineral dan batubara, penyedotan minyak dan gas bumi digolongkan sebagai kegiatan budidaya (culture).[3]

Selain itu industri pertambangan dapat dengan mudah mengubah fungsi kawasan konservasi, seperti yang terjadi di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone di Gorontalo. Kawasan seluas 14.000 hektar, hampir separuh dari luas total kawasan taman nasional sebesar 30.000 hektar, dialihfungsikan untuk tambang bagi PT. Gorontalo Minerals.[4]

Meski sekarang sudah diatur ulang[5], industri ini mendapatkan perlakuan istimewa karena keamanan dan keselamatan operasinya dijaga oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Menggunakan Undang-undang No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, terutama Pasal 7 Ayat 2 Huruf b Angka 5, ditegaskan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) memiliki kewajiban mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis.[6]

Industri ini pun tidak tersentuh dan dapat seenaknya mengabaikan hukum maupun konstitusi negara, bahkan dapat menggunakan hukum untuk mengkriminalisasikan warga/aktivis. Contoh kongkret, PT. Freeport meningkatkan produksi dari 15 juta ton menjadi hampir 19 juta ton tanpa mengubah AMDAL.[7]

Industri pertambangan juga merupakan langganan dalam menunggak pembayaran pajak dan royalti. Contohnya, PT. Kaltim Prima Coal, Adaro Indonesia, Arutmin Indonesia, BHP Kendilo, Kideco Jaya Agung dan Berau Coal menunggak royalti periode 2001- 2007 sebesar Rp.7 triliun.[8]

Industri pertambangan pun dapat dengan bebas menggunakan teknologi buruk dan merusak lingkungan, beresiko dan tetapi murah. Salah satu contoh fenomenal adalah PT. Freeport yang membuang tailing 200 ribu ton/hari ke sungai Akjwa.[9] Bahkan ketika terjadi kecelakaan karena kecerobohan perusahaan mereka tetap bisa memperoleh subsidi dari Negara. Pada kasus lumpur Lapindo Negara telah mengeluarkan uang untuk menangani lumpur Lapindo sebanyak Rp.4,3 Trilliun jauh dari anggaran Kementerian Kelautan yang hanya Rp.3,1 triliun/tahun.[10]

Dengan segala hak-hak istimewa itu tidak perlu heran jika sebagian dari 40 orang terkaya di Indonesia versi Majalah Forbes terbitan perdana di Indonesia menumpuk kekayaan yang bersumber dari tambang batubara yang menghancurkan ruang hidup warga.[11] PT Adaro Energy Tbk, perusahaan batubara yang tengah naik daun[12] dan beroperasi di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, ternyata menjadi sumber kekayaan dari empat dari ke-40 superkaya Indonesia tersebut.[13]

Potret penghancuran ruang hidup warga oleh industri tambang dan industri yang terus menghebat belakangan ini sesungguhnya adalah konsekuensi yang tidak terelakkan dari pilihan paradigma ekonomi dan politik yang dianut pemerintah Indonesia. Dan hal ini bukan tidak diketahui dan dipahami para pimpinan dan politikus negara ini. Beberapa kampanye para politikus yang berseberangan dengan SBY, seperti Amien Rais, kemudian Prabowo Subianto saat Pemilu Legislatif, menunjukkan bahwa mereka memahami dengan baik konsekuensi pilihan peta-jalan ekonomi neo-liberal yang dianut rejim-rejim pemerintah Indonesia.

Seperti telah dijelaskan terdahulu, salah satu faktor yang sangat kuat mengendalikan paradigma ekonomi dan politik di Indonesia adalah keterjeratan negara ini yang sangat dalam dalam utang luar negeri. Utang luar negeri Indonesia terus membumbung tinggi. Data Bank Indonesia (BI) mencatat, sampai akhir Januari 2010, utang luar negeri mencapai 174,041 miliar dollar AS atau hampir mencapai Rp 2.000 triliun. Nilai utang ini naik 17,5% dari tahun lalu. Akhir Januari 2009 nilai utang luar negeri Indonesia 151,457 miliar dollar AS. Nilai utang tersebut terdiri atas utang pemerintah sebesar 93,859 miliar dollar AS, utang bank 8,984 miliar dollar AS, serta utang swasta non-bank sebesar 75,199 miliar dollar AS.[14]

Rangkaian fakta di atas sungguh membuat saya marah ketika melihat secara langsung realita di lapangan. Daya rusak pertambangan yang luarbiasa besar yang mampu merombak bentang alam dan bentang sosial secara permanen merupakan saya kira merupakan faktor penyebab langsung ketersingkiran dan pemiskinan warga di wilayah-wilayah sekitar kawasan operasi pertambangan. Industri pertambangan dan energi yang diberlakukan bak primadona oleh pengurus negara karena dipromosikan sebagai mesin devisa pada saat yang sama adalah mesin penghancur ruang hidup dan kehidupan warga di daerah-daerah di kepualuan Nusantara ini.

CATATAN AKHIR

[1] Data Pokok APBN 2009 (http://tinyurl.com/2wzp7kb) menyebutkan total pendapatan pajak mencapai Rp.609,2 triliun, sektor pertambangan hanya menyetor Rp.15 triliun. Sedangkan dalam Pendapatan Negara non pajak mencapai Rp.285,7 triliun, iuran dan royalti pertambangan umum menyumbang sebesar Rp.6,86 triliun.

[2] Bab IV Pasal 6-8; Kewenangan semua level pemerintahan memberikan izin. Pasal 38; Izin diberikan kepada badan usaha, koperasi dan perseorangan. Pasal 91; Dapat menggunakan prasarana dan sarana umum. Pasal 162; Pidana bagi rakyat yang merintangi dan menggangu kegiatan pertambangan.

[3] Kegiatan budidaya dalam hal produksi pada hakekatnya merupakan elaborasi bentuk paling dasar dari kegiatan pemenuhan konsumsi manusia, yakni berburu dan mengumpulkan (hunting and gathering) bahan-bahan dari alam yang dapat dipulihkan populasinya, dengan mengembangkan sistem pengelolaan bahan-bahan tersebut agar lebih terkendali, yang memungkinkan pengambilan hasil (panen atau harvest) secara berkala. Contoh antara lain, berkebun dan bertani, budidaya ikan air tawar, budidaya ikan laut, dan sebagainya.

[4] Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 324 tahun 2010 tentang Alih fugsi Kawasan TN Nani Bogani Wartabone seluas 14 ribu hektare (https://www.jatam.org/content/view/1353/30/). Surat Balai TN Nani Bogani Wartabone No. S.974/BTNBNW-1/2009 tentang rekomendasi perubahan fungsi kawasan TNNBWN (https://www.jatam.org/content/view/989/30/).

[5] Namun, mengacu Keputusan Presiden No 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional, peran TNI dikurangi: “Pengamanan terhadap Obyek Vital Nasional yang selama ini dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia diserahkan kepada Pengelola Obyek Vital Nasional yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak berlakunya Keputusan Presiden ini” (Pasal 9).

[6] Ada 126 lokasi yang dikategorikan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai Obyek Vital Nasional yang bersifat strategis, yang tersebar di lebih dari 20 provinsi di Indonesia. Separuhnya adalah simpul-simpul distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dikelola PT. Pertamina, selebihnya adalah lokasi-lokasi keruk perusahaan-perusahaan pertambangan skala besar. Lihat: Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. t 1762 K/07/MEM/2007 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional di Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral.

[7] AMDAL Regional PT. Freeport. Produksi PT. Freeport, Lihat riwayat proyek PT. Freeport Mcmoran. http://www.ptfi.com/about/history.asp.

[8] “Jalan Panjang Kasus Pajak KPC.” Tempo Interaktif, 9 Februari 2010. 8 Desember 2010. http://tinyurl.com/28hms5p.

[9] JATAM dan WALHI (2006). Freeport: Bagaimana Pertambangan Emas dan Tembaga Raksasa “Menjajah”. JATAM, Jakarta, Indonesia.

[10] Lihat Koran Tempo, 29 Mei 2010, “Negara Dituding Takluk Kepada Korporasi.” Konferensi Pers 4 tahun Lapindo oleh Koalisi Gerakan Menuntut Keadilakan Korban Lapindo, 28 Mei 2010.

[11] “Batu Bara dan Sawit di Balik Orang Kaya RI”, Kompas, 4 Desember 2010.

[12] Menurut riset Business Insider, PT. Adaro Energy Tbk. masuk dalam peringkat ke-9 untuk pertumbuhan tercepat. Tingkat pengembalian investasi Adaro selama tiga tahun sebesar 40,3%. Dengan pendapatan US$2,82 miliar, Adaro memiliki cadangan batubara sekitar 3,5 miliar ton.

[13] Edwin Soeryadjaya (Rp. 14,4 triliun, peringkat ke-13), Garibaldi Thohir (Rp. 13,05 triliun, peringkat ke-15), Benny Subianto (Rp. 9,45 triliun, peringkat ke-21), dan Sandiaga Uno (Rp. 7,15 triliun, peringkat ke-27). Lihat: “Adaro Lahirkan Empat Super Kaya Indonesia”. VIVANews, 6 Desember 2010. http://tinyurl.com/2d66lde.

[14] “Utang Luar Negeri Indonesia Dekati Rp 2.000 Triliun.” Berita Utama, Kompas Cetak, 16 April 2010. 30 November 2010. http://goo.gl/yWjJI.

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: