Sunday, December 26, 2010

Paradigma Pendidikan Moderen – Menyimak Animasi Progresif RSA

Awicaks

Sebuah film animasi keluaran the Royal Sociaty of Arts (RSA) bekerjasama dengan sebuah organisasi Cognitive Media, berjudul Changing Education Paradigm (Mengubah Paradigma Pendidikan) sungguh mewakili kegelisahan saya terhadap sistem pendidikan di Indonesia. Sistem yang mungkin juga berlaku bagi berbagai negara berkembang yang menganut Liberalisme Baru.

Mengubah Paradigma Pendidikan–RSA

Menarik sekali pembukaan film tersebut, dimana Sir Ken Robinson menyatakan bahwa paradigma pendidikan moderen didasarkan pada dua kebutuhan utama. Kebutuhan pertama berdasarkan perspektif ekonomik:

“Bagaimana kita mendidik anak-anak kita agar dapat memainkan perannya dalam ekonomi dunia abad 21…. Meskipun kita tahu bahwa kita tidak pernah memastikan bagaimana keadaan ekonomi di akhir minggu ini….”

Kebutuhan kedua berdasarkan perspektif budaya. Sir Ken Robinson mengatakan:

“Bagaimana kita mendidik anak-anak kita agar dapat mewarisi dan mempertahankan jatidiri budaya meskipun terlibat dalam hiruk pikuk ekonomi dunia dan globalisasi….”

Yang sayangnya, masih menurut Sir Ken Robinson, kita mewujudkannya lewat apa yang pernah mereka lalui pada masa lalu. Pendekatan yang justru telah mengisolasi jutaan anak yang tumbuh dan berkembang dengan idiom sosial dan budaya yang berbeda dibanding pada masa kita dididik, baik melalui lembaga pendidikan resmi maupun melalui lingkungan sosial. Daur dan alur hidup pun tidak pernah berubah: Kerja keras – Prestasi – Kuliah - Pekerjaan.

Anak-anak masa sekarang justru tidak mempercayai daur itu. Mereka belajar dari situasi sosial mutakhir bahwa gelar kesarjanaan bukan jaminan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan keinginan mereka. Ada banyak faktor non-teknikal yang justru berpengaruh pada pencapaian tujuan tersebut, salah satunya adalah koneksi.

Hal lain yang disorot Sir Ken Robinson adalah penyeragaman dan standarisasi pendidikan yang diterapkan untuk mempermudah tertib administrasi pengurusan oleh negara. Proses pembelajaran dikotak-kotakkan menggunakan logika penyelenggaraan sebuah pabrik. Untuk konteks ini tentu saja sebuah pabrik sarjana. Sehingga apa yang dipelajari secara teoritik tidak ada urusannya dengan kenyataan hidup yang dihadapi ketika persekolahan dan pendidikan sudah dituntaskan.

Cacat logika tersebut masih diperparah oleh kecenderungan perilaku koruptif penyelenggara birokrasi pendidikan, seperti yang umum terjadi di Indonesia. Tidak hanya berlaku di lembaga yang diselenggarakan negara, tetapi juga berlaku di lembaga-lembaga yang diselenggarakan oleh pihak swasta. Bahkan ada dugaan korupsi terjadi di sekolah berwawasan internasional, yang seharusnya mengusung standar tinggi baik dalam hal kurikulum pembelajaran maupun administrasi penyelenggaraannya.

Kegelisahan ini bisa melebar lebih jauh, dan bisa diperdebatkan berhari-hari bermalam-malam tanpa mengerucut kepada jalan keluar yang solid. Kita akan semakin marah ketika mengetahui bahwa pendidikan bukan prioritas utama penyelenggaraan negara, karena paradigma yang dianut penguasa negara ini adalah ekonomi rente dari pengerukan kekayaan alam dan kekayaan sosial, sekedar atas nama kinerja Pendapatan Domestik Bruto (PDB).

Sila simak film animasi yang dibuat secara kreatif oleh RSA di atas. Film itu menginspirasi saya untuk bisa membuatnya tetapi tentang topik lain, yang bolehjadi penting untuk kampanye paradigmatik, seperti kekacauan ekonomik, demokrasi yang koruptif, dan sebagainya.

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: