Saturday, December 31, 2011

APBN, Gincu untuk Rakyat

Belanja di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2011 mencapai Rp 1.320 triliun. Pada zaman orde baru nilainya di bawah Rp 100 triliun. Modal pembangunan mutakhir semakin raksasa. Mestinya, rakyat semakin merasakan manfaatnya. Namun, kenyataan berbicara lain. Apakah penyebabnya?

Kompas | 31 Desember 2011

Seorang rekan baru saja mengantar rombongan pegawai dari salah satu kementerian mengunjungi salah satu obyek wisata di Batam, yakni Jembatan Barelang. Ini dilakukan di sela-sela rapat yang disebut-sebut sebagai agenda utamanya.

Durasi rapat hanya tiga jam, sementara rombongan menghabiskan waktu tiga hari di Batam. Di luar rapat, mereka belanja dan jalan-jalan di Batam dan Singapura.

Kisah lain berasal dari pengalaman seorang diplomat muda yang pernah bertugas di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura. Menurut dia, kegiatan-kegiatan pejabat Pemerintahan Singapura superefisien.

”Tidak ada seremoni-seremoni gebyar yang tak perlu. To the point, langsung ke substansi. Bandingkan dengan pejabat kita kalau punya acara atau seremoni,” kata diplomat tadi.

Berikutnya adalah pengalaman Kompas di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Daerah yang pada akhir 2010 dilanda tsunami tersebut sampai saat ini belum memiliki rumah sakit umum yang layak. Hanya ada dua dokter umum di Mentawai dan tak ada dokter spesialis satu pun untuk bidang-bidang mendasar.

Konsekuensinya, warga yang sakit parah harus di bawah ke rumah sakit di Kota Padang, Sumatera Barat. Persoalannya, kapal reguler ke Padang hanya ada sekali seminggu. Tak heran, kasus orang meninggal karena terlalu lama sekarat menunggu kapal menjadi jamak. Jika Mentawai dari dulu hingga sekarang tak diberi pelayanan kesehatan memadai, maka berbeda halnya dengan para pejabat negara dan wakil rakyat. Mereka mendapatkan jaminan kesehatan utama yang anggarannya telah memiliki kavling dalam APBN.

Kisah terakhir datang dari daerah di Jawa Timur. Salah satu dinas setempat mengalokasikan anggaran sekitar 400 juta untuk pemberdayaan nelayan. Kalau ditelusuri, tak lebih dari 25 persen yang benar-benar dinikmati nelayan sebagai bantuan alat tangkap. Selebihnya, simsalabim, masuk saku birokrasi.

Dua kisah pertama adalah gambaran tentang bagaimana birokrat menghambur-hamburkan uang negara untuk kepentingan dan kenyamanan pribadi atau lembaga. Kisah berikutnya menunjukkan adanya persoalan besar di tubuh pemerintah dalam menentukan politik anggaran. Politik anggaran adalah soal keberpihakan.

Kisah terakhir adalah tentang mental korupsi. Kredonya tak lain adalah ”proyek terus, pantang mundur”.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance, Didik J Rachbini, menyatakan, pemborosan dan korupsi merupakan salah satu faktor utama penyebab tidak efektifnya APBN. Faktor lain adalah menyangkut struktur pengeluaran yang tidak produktif dan implementasi yang tak maksimal.

Dari sisi struktur saja, APBN 2011 tidak produktif. Hampir 80 persen belanja dialokasikan untuk belanja rutin. Di antaranya untuk gaji pegawai negeri sipil dan kegiatan operasional perkantoran. Artinya, dana untuk pembangunan hanya sisa-sisa saja.

Dari sisi implementasi, kualitasnya jauh dari harapan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, penyerapan anggaran belanja modal sampai dengan akhir tahun diperkirakan hanya 84,5 persen. Dibandingkan dengan 2010, persentase penyerapannya sama, tapi nilai anggarannya jauh lebih besar.

”Kita harus realistis. Kalau sudah lima tahun penyerapan tetap rendah, artinya ada sistem yang salah, apakah sistem pembahasan atau kompetensi penanggung jawab anggaran,” kata Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pidato pengantar Rancangan APBN 2012 beserta nota keuangan di Gedung DPR di Jakarta, 16 Agustus, secara khusus menyoroti penggunaan keuangan di daerah yang juga belum efektif. Hal ini, antara lain, ditunjukkan oleh alokasi belanja pegawai yang terus meningkat. Sebaliknya, porsi belanja modal untuk pembangunan daerah justru menurun.

Peningkatan porsi belanja pegawai di daerah, menurut Presiden, berkaitan dengan penambahan dan pengangkatan pegawai negeri sipil baru. Dalam banyak kasus, perekrutan tidak sesuai kompetensi dan keperluan.

”Yang lebih memprihatinkan, sebagian belanja modal juga digunakan untuk pembangunan rumah dinas, pengadaan mobil dinas, dan pembelanjaan lain yang tidak tepat,” kata Presiden.

Singkat kata, dari struktur resmi APBN dan APBD saja, anggaran sudah banyak tersedot ke birokrasi. Sementara sisa anggaran yang dari sifat alokasinya semestinya untuk pembangunan masih juga bocor di sana-sini.

Akibatnya, APBN yang semestinya menjadi stimulus ternyata tak banyak mendorong perekonomian rakyat. Berdasarkan kajian Indef, peningkatan 10 persen belanja daerah hanya memberikan kontribusi 0,06 persen terhadap pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB). Kenaikan 10 persen Dana Alokasi Khusus hanya berkontribusi 0,02 persen terhadap PDRB. Peningkatan 10 persen Dana Alokasi Umum hanya berkontribusi 0,03 persen terhadap PDRB.

Kajian Komite Ekonomi Nasional menyebutkan, rendahnya penyerapan anggaran mengerem pertumbuhan ekonomi Indonesia. Setiap Rp 100 triliun dana pemerintah yang tak terserap dan tetap tersimpan di Bank Indonesia pada akhir tahun menyebabkan lenyapnya potensi pertumbuhan ekonomi sebesar 0,7 persen.

Lokomotif

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi menyatakan, yang menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini adalah dunia usaha. Pemerintah melalui APBN-nya tak banyak berperan akibat ”penyakit birokrasi”. Birokrasi tak hanya sepi peran, tapi justru malah jadi pengganggu iklim usaha.

Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hasan Bisri menyatakan, masih ada persoalan-persoalan mendasar dalam pengelolaan keuangan negara, yaitu ketidakpatuhan pada peraturan. Ini menyebabkan kerugian, potensi kerugian, atau kekurangan pendapatan.

”Ini esensinya. Di sini kita ingin bicara bahwa kita ini masih berkutat pada penegakan peraturan yang belum dipatuhi oleh pengelola keuangan negara. Jadi kita belum sampai pada soal value formalnya. Sementara negara-negara maju sudah bicara soal itu,” kata Bisri.

APBN adalah salah satu ”bahan bakar” pembangunan. Jika manfaat yang dirasakan masyarakat hanya setetes dan selebihnya tergerojok ke birokrasi dan elite, maka bagi rakyat, APBN tidak lebih dari sekadar gincu belaka. (FX LAKSANA AGUNG S)

Copyright © 2011 Kompas Digital

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: