Sunday, April 08, 2012

Dialog Sebagai Jalan Damai Papua

Muridan Satrio Widjojo (45), 19 tahun lalu turun tangan mendamaikan perang tujuh konfederasi suku di Kabupaten Jayawijaya, Papua. Kini doktor sejarah dari Universitas Leiden, Belanda, itu mengampanyekan dialog Papua untuk mewujudkan damai di Papua dan Papua Barat

Aryo Wisanggeni G | Kompas Minggu | 08 April 2012
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Muridan pada tahun 1993 adalah anak bawang di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang ”kebetulan” ditugaskan ke Kabupaten Jayawijaya, Papua. Pertautan hati membawanya untuk ikut mendamaikan perang antarsuku. Sekitar 19 tahun lalu, bersama anggota DPRD Jayawijaya, Yafeth Yelemaken, dan tokoh adat Damianus Wetapo, Muridan naik turun bukit, berjalan berpuluh kilometer keluar masuk honai perang, mencari jalan mendamaikan perang suku tujuh konfederasi suku di Lembah Baliem, Kurima, dan Pasema. Aparat keamanan sudah berulang kali memaksa para kepala suku menggelar upacara perdamaian, tetapi perang terus berlanjut.

”Upacara perdamaian yang digelar kepala suku atau bigman tidak mengikat para pihak untuk berdamai. Saya tinggal bersama para tokoh di honai perang, hingga akhirnya tahu bahwa orang yang berwenang membuat ritual perang dan perdamaian hanyalah ”orang belakang”. Mereka itu para yaman yang dipercaya memiliki akses kepada dunia supranatural dan tidak ikut berperang. Pada prosesi panah babi dalam berbagai upacara adat suku Dani, yaman adalah mereka yang memegang kaki belakang dan ekor babi,” ujarnya.

Muridan berkeliling lagi ke beberapa honai perang untuk mengonfirmasi melengkapi struktur yaman di tiap konfederasi dan prosedur perdamaian yang harus dijalani. ”Pada akhir 1993, dengan dukungan para bigman, akhirnya para yaman mau menjalani upacara Belah Kayu perdamaian. Perdamaian itu efektif hingga hari ini karena memiliki legitimasi dari para pihak yang berkonflik,” kata Muridan.

Kini, Muridan menggarap proses damai yang lebih besar, proses damai di Tanah Papua. Pusaran konflik di Papua dan Papua Barat tidak putus-putus sejak 1962. Kemiskinan tak terentas, indeks pembangunan manusia Papua dan Papua Barat terus menjadi yang terburuk di Indonesia. Mirip kisah kepala suku disuruh menggelar upacara perdamaian, kengototan pemerintah pusat merumuskan akar konflik Papua sebagai ”problem kesejahteraan” gagal meredam konflik, justru membuat tuntutan kemerdekaan makin bergema di Papua.

”Pada titik ini, kita berbicara tentang Indonesia sebagai sebuah gagasan, dan Indonesia sebagai sebuah realitas,” ujar Muridan menggebu. Deraan kanker nasofaring setahun terakhir tak menyurutkan semangatnya mendiskusikan segala hal tentang Papua.

”Bagi sebagian besar orang Indonesia, Indonesia sebagai gagasan relatif tersepakati. Meski Indonesia sebagai sebuah realitas masih hadir dengan kekerasan, korupsi, dan kelalaian melindungi rakyatnya.”

Kehadiran Indonesia

Di Papua, Indonesia sebagai realitas dinilai hadir dalam bentuk pos-pos militer dan berbagai pelanggaran HAM. Indonesia secara dominan hadir dalam bentuk sekolah yang tidak terurus dan kekurangan guru; sebagai puskesmas yang hanya berupa gedung kosong, minus mantri dan obat, apalagi dokter.

”Di bagian lain Indonesia, keburukan Indonesia sebagai realitas tidak langsung dikaitkan dengan gagasan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Problemnya, di Papua, Indonesia sebagai sebuah gagasan masih berkontestasi dengan gagasan negara Papua Barat. Kontestasi itu bersumber salah satunya dari pemahaman orang Papua—setidaknya kaum terpelajarnya—bahwa kemerdekaan negara Papua Barat telah diproklamasikan pada 1 Desember 1961 oleh Nieuw Guinea Raad. Indonesia dianggap telah merampasnya. Pemerintah masih menganggap ini masalah separatisme yang hanya dapat diatasi dengan memperbaiki kesejahteraan, sambil diam-diam terus melakukan represi,” ujar Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik LIPI tersebut.

Itu memperparah situasi di Papua?

Represi semakin menonjolkan kehadiran Indonesia sebagai sesuatu yang kolonial dan kejam. Orang Papua dibuat semakin bersemangat menghidupi gagasan negara Papua Barat dan segala simbolnya. Lebih jauh lagi, represi menimbulkan berbagai tuduhan pelanggaran HAM dan mengundang pihak internasional untuk mempersoalkan kondisi kemanusiaan di Papua. Dampaknya yang paling jelas, persoalan Papua mendapatkan simpati dari berbagai organisasi internasional.

Papua telah diberikan otonomi khusus, wajah baru Indonesia di Papua?

Otonomi khusus Papua berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 bukan lahir dari kesepakatan politik antara pemerintah pusat dan pimpinan oposisi politik di Papua. UU para aktivis dan akademisi yang memiliki keberpihakan terhadap Papua.

Di satu pihak, pemerintah pusat menganggap UU No 21/2001 itu UU separatis.

Setelah Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani UU tersebut pada 21 November 2001, beliau pada 27 Januari 2003 malah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 tentang percepatan pemekaran provinsi dan kabupaten di Papua yang menabrak Pasal 76 yang mengatur pemekaran provinsi dalam UU No 21/2001.

Kebijakan dilanjutkan penundaan pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) hingga 2005, pembuatan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 yang melarang simbol-simbol Papua. Pasal-pasal penting UU No 21/2001 tidak dijalankan, seperti pengadilan hak asasi manusia, partai lokal, serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Di pihak lain, ribuan warga Papua bersama Dewan Adat Papua telah dua kali berunjuk rasa mengembalikan otonomi khusus Papua kepada pemerintah pusat pada 12 Agustus 2005. Mereka menilai otonomi khusus Papua hanya gula-gula politik untuk mengatasi tuntutan kemerdekaan Papua. Kucuran dana otonomi khusus Papua pun tidak diterima orang Papua sebagai solusi karena mereka tidak pernah memintanya. Jika sekarang UU No 21/2001 direvisi tanpa kesepakatan di antara pihak yang terlibat konflik di Papua, pasti akan percuma.

LIPI dan dialog Papua

Membaca kemacetan proses perdamaian di Papua, para peneliti LIPI yang dipimpin Adriana Elisabeth menggelar serangkaian penelitian di Papua. Pada 2004, tim itu menghasilkan laporan Peran dan Kepentingan Para Aktor dalam Konflik di Papua. Dua laporan lainnya menyusul, Agenda dan Potensi Damai di Papua (2005) serta Trust Building dan Rekonsiliasi di Papua (2006). Muridan yang kala itu tengah menyelesaikan program doktoralnya di Leiden tak sepenuhnya terlibat dalam penyusunan ketiga laporan itu.

Dua dokumen terakhir kontroversial karena menggagas dialog untuk menyelesaikan konflik di Papua. Proyek penelitian itu sempat terhenti pada 2007, hingga Muridan datang dari Belanda. Ia menggulirkan penyusunan dokumen Papua Road Map (versi pendek 2008, versi lengkap 2009) yang merinci tahapan menuju dialog bagi penyelesaian konflik di Papua.

Papua Road Map sempat dianggap klise oleh sebagian Indonesianis yang meneliti Papua. Namun, banyak pula pihak yang angkat topi dengan keberanian peneliti LIPI mengungkap akar konflik Papua dan menaruh dialog sebagai solusinya. Apresiasi juga datang dari gerakan masyarakat sipil di Papua serta para tokoh gereja. Pada 2009, tokoh agama di Papua, Pastor Neles Tebay, Pr, menyusun bukuDialog Jakarta–Papua, Sebuah Perspektif Papua menjawab Papua Road Map LIPI.

Berdengungnya gagasan dialog di kalangan akademisi dan aktivis gerakan sipil di Jakarta ataupun Papua, juga komunitas internasional, mendorong Muridan dan para peneliti LIPI ”keluar dari habitat” berteori mereka. Bersama para tokoh di Papua, mereka turun tangan melakukan kerja layaknya para aktivis perdamaian memediasi konflik.

Muridan dan Neles Tebay memotori berdirinya Jaringan Damai Papua (JDP) pada Januari 2010, yang menghimpun para aktivis Papua menjadi fasilitator perdamaian. JDP berkeliling ke beberapa wilayah Papua, Jakarta, dan luar negeri, berkonsultasi dan mengampanyekan dialog sebagai jalan memulai proses perdamaian di Papua. JDP mengolah pendapat dan masukan orang Papua tentang gagasan dialog Jakarta-Papua, mulai dari agenda dialog, tempat, format, dan juru runding dari pimpinan Papua akar rumput.

Tak selalu mulus. Di Oxford, Inggris, Muridan mengampanyekan dialog Papua dalam diskusi yang digelar Oxford Transitional Justice Research pada 6 Februari 2010, membeber kerja sebulan JDP. Namun, ia malah dimaki sejumlah aktivis asal Papua di Inggris, mendapat penegasan bahwa ”Kamu orang Indonesia tidak berhak bicara tentang orang Papua.”

”Kerja JDP adalah upaya pradialog, konsultasi, dan kampanye dialog ke berbagai wilayah di Papua, mengampanyekan dialog kepada berbagai lembaga pemerintah pusat di Jakarta, hanya langkah awal membangun kondisi pradialog. Prosesnya terkadang menyakitkan hati, makian, tudingan, perdebatan, kerap muncul. Hanya penjelasan sejelas-jelasnya yang membuat gagasan dialog bisa diterima sebagai jalan baru menuju damai di Papua.”

Apakah dialog bisa menyelesaikan soal Papua?

Jika dialog itu dibuat oleh Muridan, Neles Tebay, atau Jaringan Damai Papua (JDP) sekalipun dengan dukungan lembaga hebat tingkat nasional dan internasional, saya pastikan akan gagal menjadi solusi bagi Papua. Dialog hanya akan berhasil kalau proses dan hasilnya dijalani sepenuhnya sendiri oleh para pemimpin oposisi Papua dan Pemerintah Indonesia.

Apa yang sebenarnya harus didialogkan?

Pemerintah pusat selalu menilai persoalan Papua adalah persoalan kesejahteraan sehingga solusi yang sejauh ini ditawarkan adalah hal-hal yang diyakini pemerintah pusat akan memperbaiki kesejahteraan di Papua. Itu akan sia-sia jika pada saat yang sama masalah sosial politiknya diabaikan atau tetap didekati dengan cara keamanan. Dalam perspektif orang Papua, masalah di Papua bukanlah persoalan kesejahteraan, tetapi masalah harga diri dan pengakuan keberadaan mereka, serta imajinasi relasi Indonesia dengan Papua.

Pemerintah pusat ataupun orang Papua masing-masing memiliki rumusan berbeda tentang akar persoalan di Papua. Jadi, dialog haruslah membangun kesepahaman antara pemerintah pusat dan orang Papua tentang apa akar persoalan di Papua. Baru kemudian para pihak menegosiasikan apa jawaban atas persoalan yang mereka rumuskan.

Apakah kedua pihak siap berdialog?

Tahun 2008, kata ”dialog” sebagai solusi Papua dianggap tabu. Pemerintah trauma dengan kegagalan dialog nasional 1999. Namun, sejak 9 November 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menyatakan tekad untuk berdialog secara terbuka bagi penyelesaian masalah Papua. Pemerintah pusat merinci empat hal yang harus dipastikan untuk menggelar dialog. Pertama, tujuan dialog. Kedua, agenda dialog. Ketiga, mekanisme dialog. Keempat, format dialog.

Presiden juga telah membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), yang dikepalai Letjen (Purn) Bambang Dharmono. Selain itu, Presiden juga menunjuk salah satu fasilitator perdamaian Aceh, Farid Husain, mengupayakan dialog sebagai penyelesaian soal Papua. Komisi I DPR, baik dari PKS, Golkar, PDI-P, maupun Demokrat. Tokoh-tokoh politik, seperti Kemal Stamboel, Hayono Isman, Yorrys Raweyai, dan Tb Hasanudin, berperan besar dalam kampanye dialog Papua.

Hampir seluruh gereja di Papua mendukung dialog dan hanya mendukung dialog yang format dan fasilitasinya dibuat oleh JDP. Sejumlah anggota DPR Papua yang membuat tim khusus Dialog Papua. Yang masih harus digarap adalah problem representasi di antara orang Papua. Pola berpolitik orang Papua yang terfragmentasi dalam banyak model parlemen jalanan harus disolidkan sehingga mencapai tataran politik yang membuatnya pantas berdialog dengan pemerintah pusat. Jika kelompok-kelompok di Papua terus tampil berantakan, terus menampilkan wajah politik Papua yang terfragmentasi, tidak mungkin Jakarta akan respek dan membuka pintu dialog.

Lalu apa tujuan, agenda, mekanisme, dan format dialog yang digagas JDP?

JDP memang menggarap kampanye dan proses pradialog, namun bukan berarti JDP memiliki legitimasi untuk secara sepihak merumuskan tujuan, agenda, mekanisme, dan format dialog itu. Itu semua harus diputuskan sendiri para pihak yang akan berdialog. Dalam bayangan saya, Indonesia sebagai sebuah gagasan dikedepankan dan didorong untuk menghasilkan kesepakatan politik baru, bahwa kepapuaan menjadi bagian dari proses mewujudkan keindonesiaan. Itu dalam tataran abstraknya. Pada akhirnya dialog akan merumuskan kesepakatan politik baru antara Indonesia dan Papua, menyepakati konsesi politik baru bagi Papua, meretas akar konflik Papua. Di sana Indonesia baru dan Papua baru akan lahir....

****

MURIDAN SATRIO WIDJOJO

Lahir: Surabaya, 4 April 1967

Istri: Suma Riella Rusdiarti

Anak: Yerry Wetapo (18 th), Chris Deikme (17 th), Galih Muridan (14 th), Naiya Muridan (5 th)

Pendidikan
  • 2007 Ph.D. Precolonial History, Universiteit Leiden
  • 2002 M.Phil. Precolonial History, Universiteit Leiden
  • 2001 Magister Antropologi Sosial, Universitas Indonesia
  • 1992 Sarjana Sastra Perancis, Universitas Indonesia
Pekerjaan
  • Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
  • Ketua Tim Kajian Papua LIPI (2008-sekarang)
Kegiatan Nonpenelitian
  • 2010 Salah satu pendiri dan koordinator Jaringan Damai Papua (JDP)
  • 2001-2001 Anggota Dewan Direktur The RIDEP Institute (Research Institute for Democracy and Peace)
  • 1999-2000 Anggota Tim Pencari Fakta Komnas HAM dalam Kasus Dugaan Pelanggaran HAM di PT Kelian, Kutai, Kalimantan Timur
  • 1998 Anggota Tim Evaluasi dan Mediasi Konflik Freeport dan Amungme, Timika, Papua
  • 1996 Koordinator Sub-tim Sosial Budaya ”Audit Sosial PT Freeport Indonesia”, Timika, Papua
  • 1993 Mediator Perdamaian Tujuh Konfederasi Suku di Wamena, Hitigima, Kurima, Pasema, dan Welesi, Kabupaten Jayawijaya, Papua
Buku dan karya hasil penelitian terpilih:
  • 2011 Papua: A Dialogue in the Making, Geneva-Jakarta: HDC-LIPI
  • 2010 Papua Road Map, Negotiating the Past, Improving the Presence, and Securing the Future, Jakarta/Singapore, YOI, KITLV, ISEAS (editor dan co-writer)
  • 2009 The Revolt of Prince Nuku: Cross-cultural Alliance-making in Maluku, c. 1780-1810, Leiden: Brill
  • 2006 Trust Building dan Rekonsiliasi di Papua, Jakarta: LIPI (co-writer)
  • 2005 Agenda dan Potensi Damai di Papua, Jakarta: LIPI (co-writer)
  • 2004 Aktor dan Peta Konflik di Papua, Jakarta: LIPI (co-writer)
  • 2003 Bahasa Negara versus Bahasa Gerakan Mahasiswa, Jakarta: Dian Dharma (editor dan co-writer)
  • 2000 Strategi Amungme untuk Mendapatkan Pengakuan di Timika, Papua, Tesis Magister Antropologi Universitas Indonesia
  • 1999 Penakluk Rezim Orde Baru : Gerakan Mahasiswa 1998, Sinar Harapan, Jakarta (editor dan co-writer)
  • 1998 Orang Kamoro dan Perubahan Lingkungan Sosial Budaya di Timika, Irian Jaya. Jakarta: LIPI
  • 1995 Sistem Sosial Kepemimpinan dan Pergeseran pada Masyarakat Dani Baliem di Irian Jaya. Jakarta: LIPI
Copyright © 2012 Kompas Digital

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: