Friday, April 06, 2012

Politik Infrastruktur

Sejak masa pendudukan Belanda, infrastruktur adalah alat penakluk suatu wilayah baru. Daendels ditugaskan membuka jalan yang merentang dari Anyer, ujung Barat pulau Jawa hingga ke ujung Timur di Panarukan, untuk memperlancar arus barang dan jasa, terutama bahan mentah yang akan diangkut ke pasar-pasar di Eropa

Awicaks

Foto0075[1]

Kerja rintisan Daendels pun diikuti dengan pembangunan sarana-sarana pelabuhan di sepanjang pesisir utara pulau Jawa. Apa yang terjadi pada kerja keras Daendels itu? Yang kita pahami dari pelajaran sejarah sejak SD hingga SMA adalah kerja paksa, bukan hanya penduduk yang tinggal di sepanjang Jalan Raya Pos tersebut, tetapi juga pengerahan buruh dari daerah lain di pulau Jawa. Selain itu kerja paksa, kita tidak boleh melupakan perampasan tanah oleh penguasa agar "proyek" Jalan Raya Pos itu berhasil dituntaskan.

Apakah ada perbedaan dengan modus yang sekarang diterapkan oleh pengurus negara ini? Jalan-jalan, pelabuhan, dan semua infrastruktur dibangun pada hakekatnya tidak untuk menjamin terbukanya akses bagi warga di wilayah-wilayah terpencil. Namun infrastruktur dibangun untuk melayani perluasan wilayah industrial. Apabila sebuah jalan dibangun, penting untuk dicermati apa rencana pengembangan industri di wilayah bersangkutan. Jadi, jangan heran apabila Anda menemukan jalan-jalan tidak terawat di daerah yang dahulu merupakan wilayah keruk industri perkayuan atau pertambangan, karena kemampuan pembiayaan pengurus daerah tentu tidak akan bisa mengimbangi kemampuan pembiayaan perusahaan-perusahaan swasta pada waktu mereka masih beroperasi.

Paradoks infrastruktur sangat nyata di Papua. Papua adalah wilayah yang memiliki kelimpahan kekayaan alam luar biasa, baik kekayaan alam terbarukan maupun yang tidak terbarukan, seperti mineral, minyak dan gas, serta batubara. Bahkan di Papua, baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat, beroperasi dua industri ekstraktif kelas dunia, Beyond Petroluem (BP) di Kabupaten Teluk Bintuni dan Freeport McMoran di Kabupaten Mimika. Infrastruktur yang melayani kedua raksasa tersebut mutunya jauh di atas mutu infrastruktur bahkan yang ada di pulau Jawa. Namun infrastruktur di luar wilayah tersebut sangat memprihatinkan. Tidak perlu jauh-jauh, mari tengok infrastruktur di Kota Timika, ibukota Kabupaten Mimika. Pengelolaan kota tersebut sangat berantakan. Ketersediaan listrik pun tidak berbeda dengan kota-kota lain. Mati hidup, tidak pernah stabil. Demikian halnya dengan pengelolaan sampah kota.

Hubungan antardaerah di Papua sangat problematik. Pesawat udara menjadi satu-satunya pilihan. Dan itu adalah pilihan yang sangat mahal. Mobilisasi dan pergerakan sosial terhambat karena terbatasnya infrastruktur. Namun, tentu saja infrastruktur pelayan industrial bukan yang dibutuhkan. Melainkan infrastruktur yang sungguh-sungguh melayani kebutuhan warga. Apakah bisa seperti itu mengingat tradisi dan politik infrastruktur yang begitu kuat dalam melayani perluasan industrial?

Apa yang salah dengan perluasan industrial?

Menjadi salah jika paradigma ekonomi-politik yang dijujung dan dianut oleh rezim penguasa negara ini masih sama seperti yang berlaku sekarang. Paradigma yang menuhankan pertumbuhan ekonomi tanpa pusing soal distribusi manfaatnya. Apa yang terjadi di Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa sangat mungkin meledak di Indonesia, ketika 99% warga yang tidak menikmati buah pertumbuhan ekonomi memprotes dan melakukan pendudukan massal terhadap hak-hak istimewa yang dinikmati segelintir elit penguasa kapital finansial serta konco-konco mereka di kelompok politik. Bedanya, di negara-negara industrialis itulah rezim pasar bebas dan liberalisme ekonomi-politik lahir. Sementara negara-negara bekas jajahan, macam Indonesia, hanya sekedar sebagai penganut setia.

Menjadi warga negara Republik Indonesia sangat serba salah. Di satu sisi kita ingin menjadi warga yang baik, dengan memenuhi kewajiban-kewajiban sebagai warga. Membayar pajak, patuh kepada aturan dan hukum yang berlaku, mendukung pengurusan negara, dan seterusnya. Di sisi lain, sebagai warga, kita menuntut jaminan pemenuhan hak-hak dasar kita, sekaligus layanan publik yang memadai, sebagai buah transaksional dari kewajiban kita sebagai warga. Infrastruktur yang mendukung kegiatan sosial, ekonomi dan politik kita sebagai warga, akses kepada sumber-sumber produksi, baik berupa tanah, air dan kekayaan alam, perlindungan keselamatan oleh negara, dan seterusnya. Kenyataannya, roda pengurusan negeri ini justru bergulir karena adanya subsidi dari warganya.

Warga yang memilih tutup mulut dan  pasrah adalah bentuk subsidi (kemudahan dan keringanan) bagi penyelenggaraan negara yang amburadul ini. Ketika jalan rusak, tidak ada tuntutan kepada negara untuk bertanggung jawab atas biaya perbaikan kendaraan bermotor, atau menurunnya produktifitas warga, atau bahkan ketika warga menjadi korban kecelakaan, baik yang mengakibatkan luka maupun kematian. Bahkan kita sebagai warga juga dikadali untuk menggantikan peran negara atas nama partisipasi masyarakat. Baik itu berupa kerja-kerja pengamanan lingkungan lewat Siskamling maupun pengurusan administrasi kependudukan dengan peran-peran sukarela seperti Rukun Warga (RW) atau Rukun Tetangga (RT). Ironisnya, subsidi waktu dan tenaga warga tidak meningkatkan mutu pelayanan oleh pengurus negara. Mengurus kartu tanda penduduk (KTP) saja masih belum terbebas dari suap. Ironi dan paradoks tersebut seakan sudah menjadi kenyataan hidup (given).

Kembali ke politik infrastruktur sebagai pintu pembuka diskusi, jelas terlihat bahwa pengurusan negara ini memang tidak ditujukan untuk menjamin keselamatan warganya agar dapat mempertahankan dan meningkatkan produktifitas mereka. Kata-kata manis seperti 'kesejahteraan', 'kemakmuran' justru tidak menggambarkan tolok-ukur paling sederhana dari jaminan negara untuk memenuhi hak-hak dasar warga: Keselamatan!

Selanjutnya.. Sphere: Related Content

No comments: